Tetapi itu juga menjadi bukti bahwa Afif masih sangat dipercaya kemampuannya sebagai penyambung lidah rakyat. Salah satu buktinya, suami dari Siti Rohmatul Munawarah ini sebelumnya meraih 7.500 suara pada saat Pileg 2019, tertinggal dari Mohammad Sahur yang meraup 15.000 suara. Otomatis Afif gagal menjadi anggota legislatif. Buku ini menyajikan 29 cerita rakyat yang berakar dalam konteks budaya Lamaholot. Kisah-kisah purba ini diceritakan kembali dalam bentuk tulisan oleh sejumlah guru baik pria maupun wanita. Sebagian besar cerita dalam buku ini merupakan hasil lomba yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur. Penyusun: Tim CeritaRakyat La Moelu. Pada zaman dahulu, di suatu desa kecil di Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama La Moelu. Saat ia masih bayi, ibunya meninggal sehingga dirinya hanya tinggal dengan ayahnya saja. Sayangnya, sang ayah telah tua renta dan tak bisa mencari nafkah. Ditengah kehidupan masyarakat Purwagaluh yang hanya menggantungkan sumber makanan dari hasil buruan, kehidupan berubah menjadi neraka ketika hutan tak lagi menyediakan binatang untuk diburu. Tanah kering kerontang dan sungai tidak lagi menyisakan air yang memberi kehidupan pada hewan dan tumbuhan. Purwagaluh adalah satu wilayah yang tengah mengalami bencana kekeringan terparah. Salahsatu cara memetakan kearifan lokal melalui cerita rakyat Tonsawang, yaitu dengan mengidentifikasi tiga ranah tempat berlakunya kearifan lokal. Tiga ranah tersebut, yakni hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Pemetaan kearifan lokal ini diungkapkan oleh Saini (2005). Berikut ini adalah beberapa dongeng cerita Rakyat yang paling terkenal di kalangan anak – anak Indonesia beserta asal daerahnya. 1. Lutung Kasarung – Jawa Barat. Cerita Rakyat Lutung Kasarung – Photo by Uniqpost. Cerita rakyat yang berasal dari Jawa Barat ini, dikenal sebagai Lutung Kasarung. . Indonesia kaya akan dongeng yang berhubungan dengan bidadari yang turun ke bumi. Namun, pernahkah kamu mendengar cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari dari Sulawesi Tenggara? Kalau belum, langsung saja simak ulasan yang telah kami siapkan di artikel berikut!Kamu mungkin sering mendengar dongeng Indonesia yang menceritakan tentang bidadari yang turun ke bumi. Namun, pernahkah kamu mendengar cerita rakyat Sulawesi Tenggara tentang Putri Satarina dan Tujuh Bidadari?Kisahnya menceritakan tentang kebaikan seorang gadis yang nasibnya selalu sial. Karena merasa kasihan, akhirnya para batari itu pun menolong gadis bernama Putri Satarina itu dan mengangkatnya menjadi bidadari penasaran dengan kisahnya, langsung saja simak ulasan seputar cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang telah kami siapkan di bawah ini. Selain kisahnya, kamu juga bisa mendapatkan ulasan terkait unsur intrinsik dan beberapa fakta menariknya. Selamat membaca! Sumber Wikimedia Commons Alkisah di bagian tenggara pulau Sulawesi, terdapatlah sebuah negeri yang dihuni oleh orang-orang suku Wolio. Negeri tersebut berbentuk pedukuhan atau desa yang dikenal juga dengan nama Desa Keli. Desa tersebut dilalui sebuah aliran sungai bernama Lakambolo. Setiap kali musim timur tiba, air sungai tersebut akan meluap dan menenggelamkan seisi kampung. Hal itu terpaksa membuat warga yang tinggal di Desa Keli harus mengungsi dari ancaman banjir ke daerah yang lebih aman setiap kali musim timur tiba. Di desa tersebut, tinggal seorang saudagar kaya raya bernama La Ode Pakainke Ke. Ia memiliki seorang istri yang rupawan dan cantik jelita bernama Wa Ode Sanggula. Kehidupan sang saudagar itu benar-benar dilimpahi kebahagiaan. Usaha dagang yang mereka jalankan selalu mendapatkan keuntungan dan laba yang banyak. Ditambah lagi, mereka tengah menantikan kelahiran anak pertama mereka yang telah dinanti-nanti. Pada satu senja, La Ode Pakainke Ke dan istrinya, Wa Ode Sanggula tengah duduk bercengkerama di teras depan rumahnya yang besar dan megah. “Istriku, minggu depan aku harus berangkat ke Pulau Siumpu untuk membawa bawang dagangan. Sudah satu bulan aku beristirahat di rumah, kini saatnya aku harus berdagang lagi,” ucap La Ode Pakainke Ke dengan bersedih. Wa Ode Sanggula tak menjawab ucapan suaminya itu. Ia hanya menundukkan kepala seraya tangannya sesekali mengusap perutnya yang membuncit. Terkadang, ada hela napas yang berat di antara setiap tarikan napasnya. “Janganlah engkau bersedih, istriku! Perjalananku kali ini tak akan lama. Paling lama akan memakan waktu dua minggu saja. Nantinya setelah urusanku selesai, aku berjanji akan langsung pulang,” lanjut La Ode Pakainke Ke berusaha meyakinkan sang istri. Meskipun begitu, tetap saja Wa Ode Sanggula terdiam menunduk penuh kesedihan. Ia masih saja merasa berat melepaskan kepergian suaminya. Kekhawatiran Wa Ode Sanggula “Kumohon bicaralah padaku, istriku. Jangan hanya diam saja. Apa gerangan yang membuat hatimu merasa berat? Jangan membuatku merasa cemas karena sikapmu itu!” ujar La Ode Pakainke Ke khawatir. “Maafkan aku, suamiku. Bukan maksudku membuatmu khawatir. Aku hanya bersedih memikirkan rencana keberangkatanmu minggu depan, padahal tak lama lagi aku akan melahirkan bayi kita. Aku takut kalau kau tak bisa berada di sisiku ketika melahirkan nantinya. Siapa nantinya yang akan menolongku?” ucap Wa Ode Sanggula seraya menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Mendengar hal itu, La Ode Pakainke Ke menjadi terdiam dan bimbang. Tentu saja ia tak ingin meninggalkan istrinya sendiri ketika tengah melahirkan, tapi bagaimanapun juga ia harus kembali berdagang di Pulau Siumpu. “Berapa usia kandunganmu sekarang, istriku?” tanya La Ode Pakainke Ke. “Delapan bulan dua belas hari, suamiku,” jawab sang istri. La Ode Pakainke Ke kemudian terdiam dan berpikir keras. “Kalau begitu, aku masih bisa memiliki waktu untuk berdagang seraya menunggu kelahiran bayi kita. Menurut perhitunganku, bayi kita seditaknya akan lahir tiga puluh delapan hari lagi. Nantinya sebelum kau melahirkan, aku pasti sudah kembali pulang lagi,” ucapnya kemudian. “Jadi kau akan tetap berangkat berdagang, suamiku?” “Benar, istriku. Aku sudah terlanjut berjanji pada saudagar di Biwinapa untuk membawakan barang dagangan yang sudah dia pesan. Aku harus memenuhi janji itu agar di kemudian hari perniagakanku tidak mengalami kesulitan karena kehilangan kepercayaan dari orang lain. Kuharap kau bisa memaklumiku, istriku. Lagi pula apa yang aku lakukan ini juga demi anak kita kelak!” ucap La Ode Pakainke Ke berusaha membesarkan hati istrinya. Baca juga Asal Mula Gunung Mekongga di Sulawesi Tenggara & Ulasan Menariknya, Tempat Terbunuhnya Burung Garuda Raksasa Keberangkatan La Ode Pakainke Ke Setelah terdiam beberapa saat, Wa Ode Sanggula lalu memandang suaminya dan berucap, “Baiklah, suamiku. Aku akan melepaskan kepergianmu dengan ikhlas. Aku juga akan selalu mendoakan agar kau berada dalam lindunagan Yang Maha Kuasa.” “Terima kasih, istriku. Sekarang aku lebih lega dan tak lagi merasa berat untuk berangkat minggu depan,” ucap La Ode Pakainke Ke seraya memeluk istrinya penuh cinta. Satu minggu kemudian, seperti rencananya semula, La Ode Pakainke Ke berangkat bersama awak kapalnya menumpangi kapal besar miliknya. Mereka berlayar menuju Pulau Siumpu dengan membawa barang dagangan berupa kain sutera dan kerajinan tangan hasil penduduk Desa Keli. Setelah beberapa minggu, La Ode Pakainke Ke masih saja belum pulang ke rumah. Hal itu tentu saja membuat Wa Ode Sanggula khawtir. Padahal waktu kelahirannya sudah di depan mata. Suatu hari, ketika matahari akan terbenam, Wa Ode Sanggula masih asyik duduk di serambi depan rumahnya seraya mengusap perutnya yang semakin buncit. Sesekali, pandangan matanya diarahkan ke belokan di ujung jalan bagian selatan rumah mereka. Tak lama kemudian, pengasuhnya yang benama Wa Kalambe keluar dari dalam rumah dan mendekatinya perlahan. “Ini sudah nyaris maghrib, Abe. Marilah kita masuk ke dalam rumah. Orang hamil sepertimu seharusnya tak boleh berlama-lama duduk di luar rumah. Namanya pamali,” ucap Wa Kalambe. “Tapi, aku masih menunggu kedatangan suamiku sore ini, Wa Mbe,” ucap Wa Ode Sanggula bersedih. “Aku tahu, Abe. Tapi hari kini sudah semakin gelap. Mungkin saja Nak Ode belum pulang sore ini. Sebaiknya kau masuk dahulu dan menunggu besok lagi untuk menantikan kepulangannya,” ujar Wa Kalambe kemudian. La Ode Pakainke Ke yang Tak Segera Pulang “Namun ini sudah lewat satu minggu dari waktu yang sudah dijanjikan, Wa Mbe. Dan suamiku masih belum pulang juga. Aku jadi merasa sangat cemas karena memikirkannya. Kira-kira apakah gerangan penyebab keterlambatannya?” Wa Ode Sanggula masih saja belum bergerak dari tempat duduknya. “Mungkin saja urusan Nak Ode tak bisa diselesaikan dengan cepat sehingga kepulangannya terpaksa harus ditunda. Jangan terlalu berpikiran buruk. Lebih baik kita masuk ke dalam!” ucap Wa Kalambe terus membujuk. Meskipun awalnya Wa Ode Sanggula berkeras tak ingin masuk ke dalam rumah sampai suaminya pulang, tapi pada akhirnya ia pun berdiri dari tempat duduknya. Seraya memegang pinggulnya yang pegal akibat duduk terlalu lama, ia pun berjalan masuk ke dalam rumah dengan didampingi oleh Wa Kalambe. Ketika malam semakin larut, suasana rumah pun menjadi semakin sunyi. Lampu rumah tersebut sudah dimatikan semua oleh Wa Kalambe, kecuali lampu dari kamar Wa Ode Sanggula. Hal itu menunjukkan bahwa penghuni kamar itu masih terjaga. Dan benar saja, di atas pembaringan empuk yang dilapisi kain beludru berwarna merah, Wa Ode Sanggula masih saja belum tidur. Ia hanya mengubah-ubah posisi tidur saja seperti tengah merisaukan sesuatu. Ada banyak dugaan yang berkecamuk di dalam pikirannya. “Suamiku, apa yang sebenarnya tengah terjadi padamu? Kenapa kau masih belum pulang juga hingga sekarang?” bisiknya nyaris menangis. “Tuhan, kumohon lindungilah suamiku. Berikanlah ia kekuatan agar bisa kembali dengan selamat,” ucapnya berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Setelah menangis dan khawatir semalaman, Wa Ode Sanggula baru bisa terlelap ketika menjelang dini hari. Baca juga Dongeng La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara dan Ulasannya, Lika Liku Kehidupan Anak yang Ditinggalkan Keluarga Pecah Ketuban Wa Ode Sanggula Ketika hari sudah menjelang siang, Wa Kalambe mengetuk pintu kamar yang membangunkan Wa Ode Sanggula dari mimpinya. “Abe Sanggula! Hari sudah siang, bangunlah!” ucap Wa Kalambe di antara ketukannya di pintu dengan nada khawatir, “Apakah Abe baik-baik saja?” “Aku tidak apa-apa, Wa Mbe. Masuklah, aku sudah bangun,” jawab Wa Ode Sanggula masih dengan nada lemas. Setelah Wa Kalambe masuk, wajahnya semakin terlihat khawatir ketika melihat Wa Ode Sanggula masih terbaring di tempat tidur. “Apakah kamu sakit, Abe?” tanya Wa Kalambe cemas seraya berjalan mendekati pembaringan. Ia pun langsung memegang kening Wa Ode Sanggula untuk mengecek kondisinya. “Aku hanya merasa sedikit pusing, Wa Mbe. Semalam aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku masih memikirkan kepergian suamiku yang belum ada kabarnya hingga sekarang.” “Sekarang Abe tak perlu lagi merasa cemas. Tadi pagi kusir La Ponta-Ponta datang untuk memberi kabar kalau kapal Nak Ode sudah berlabuh. Sebentar lagi suamimu pasti akan pulang ke rumah.” Mendengar hal itu, Wa Ode Sanggula pun langsung terlihat sumringah dan bersemangat. Tanpa menunggu lama ia langsung bangun dari pembaringannya. Namun, karena ia terlalu tergesa-gesa, tanpa sadar kaki kirinya tersangkut ujung kain hingga ia terguling dari tempat tidur. Wa Kalambe yang tak menduga kejadian itu pun langsung panik. Kejadian itu langsung membuat air ketuban Wa Ode Sanggula pecah. Pertanda bahwa tak lama lagi ia akan melahirkan bayinya. Hal itu tentu saja membuat Wa Kalambe menjadi semakin panik. Kelahiran Putri Satarina Di waktu yang bersamaan, terdengar suara salam dari depan pintu yang menunjukkan bahwa La Ode Pakainke Ke telah pulang ke rumah. Ketika melihat kondisi istrinya yang kesakitan, pria tu langsung ikut panik dan menanyakan apa yang bisa ia bantu. Tanpa menunggu lama, Wa Kalambe menyarankan La Ode Pakainke Ke untuk bergegas keluar kamar dan menyuruh pengurus kuda untuk menjemput dukun beranak. Untungnya, dukun beranak itu bisa dipanggil dengan cepat dan Wa Ode Sanggula bisa melahirkan bayi perempuannya dengan selamat. Bayi perempuan yang berparas cantik jelita dan berkulit putih bagai salju nan elok itu pun diberi nama Putri Satarina yang berarti anak perempuan yang berwajah bagai purnama. Kehadiran sang putri tentunya membawa kebahagiaan bagi kedua orang tuanya. Apalagi usaha perniagaan La Ode Pakainke Ke menjadi sembakin lancar. Namun sayang, ketika usia sang putri baru tiga belas bulan, sang ibunda terkena penyakit yang sangat parah. Semua tabib yang telah didatangkan dari sepenjuru negeri tetap saja tak bisa menyembuhkan penyakitnya. Hari demi hari penyakitnya menjadi semakin parah hingga membuat La Ode Pakainke Ke khawatir. Wa Ode Sanggula yang menyadari bahwa tak ada seorang pun tabib yang bisa menyembuhkannya kemudian berpesan pada suaminya untuk selalu menjaga dan merawat buah hatinya dengan baik. Tak lama setelah berpesan, Wa Ode Sanggula menghembuskan napas terakhirnya. Baca juga Kisah Terbentuknya Pulau Nusa dari Kalimantan Tengah dan Ulasannya, Kecerobohan Manusia yang Berakhir Tragis La Ode Pakainke Ke Menikah Lagi Tiga tahun setelah kepergian Wa Ode Sanggula, Putri Satarina tumbuh menjadi anak yang jelita. Bahkan meskipun usianya baru empat tahun, kecantikannya sudah bisa terlihat dengan jelas. Kulitnya terlihat putih bagai salju dan matanya bersinar bagaikan bintang kejora. Bahkan, hidung dan bibirnya tampak sempurna yang semakin menambah keayuan wajahnya. Suatu hari, La Ode Pakainke Ke berpikiran untuk kembali menikah. Karena bagaimanapun juga, ia merasa tak sanggup mengurus buah hatinya sendirian. Apalagi, Wa Kalambe yang pernah menjadi inang pengasuh sang gadis telah berpulang juga ke Rahmatullah tak lama setelah kepergian Wa Ode Sanggula. Belum lagi, La Ode Pakainke Ke harus sering bepergian untuk melakukan usaha perniagaannya. Tak mungkin ia membawa Putri Satarina berlayar bersamanya atau bahkan meninggalkannya sendirian di rumah. Oleh karena itu, setelah berpikir matang-matang, akhirnya La Ode Pakainke Ke memutuskan untuk menikah seorang wanita biasa bernama Wa Muri. Dibandingkan istrinya terdahulu, Wa Muri tidaklah berparas cantik. Namun, hal itu bukanlah sebuah masalah bagi La Ode Pakainke Ke. Karena yang terpenting baginya adalah ada orang yang bisa mengurus dan merawat putrinya. Sebelum mereka resmi menikah, La Ode Pakainke Ke meminta janji Wa Muri untuk menganggap Putri Satarina seperti anak kandungnya sendiri dan memperlakukannya dengan baik. Wa Muri pun menyanggupi permintaan itu. Sehingga La Ode Pakainke Ke akhirnya tak lagi ragu untuk memilihnya. Kebaikan Palsu Wa Muri Setelah menikah, Wa Muri tinggal bersama di rumah suami dan anak tirinya. Awalnya, sesuai janjinya pada La Ode Pakainke Ke, Wa Muri memperlakukan Putri Satarina seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan, La Ode Pakainke Ke sampai merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki istri yang penyayang dan adil. La Ode Pakainke Ke tak lagi merasa ragu dan cemas jika harus meninggalkan putrinya untuk berdagang. Ia bisa yakin meninggalkan putrinya di bawah asuhan istri keduanya selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Ia sangat yakin putrinya akan selalu bahagia meskipun hanya ditemani ibu tiri yang menyayanginya. Namun, siapa sangka kalau rupanya kebaikan hati dan kasih sayang Wa Muri itu semua hanyalah kebohongan semata. Di balik sikap dan senyum manis yang ia perlihatkan itu, rupanya ada rencana licik yang hanya ia ketahui sendiri. Tak lama setelah pernikahan itu, Wa Muri hamil kemudian melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Katarina. Kehadiran Katarina itu semakin memunculkan sikap buruk Wa Muri, khususnya ketika La Ode Pakainke Ke tengah tidak berada di rumah. Ia sering kali membeda-bedakan kedua anaknya. Bahkan, ia mulai tak lagi mempedulikan Putri Satarina dan hanya mengurus Katarina saja. Baca juga Dongeng Ikan Mas Ajaib dan Pohon Emas Beserta Ulasannya, Pengingat Agar Selalu Tulus Melakukan Segala Hal Perubahan Perilaku Wa Muri Pada Putrinya Seiring dengan berjalannya waktu, perbedaan Putri Satarina dan Katarina semakin terlihat jelas. Tak hanya secara fisik saja, tapi perangai Katarina pun jauh lebih buruk dibandingkan Putri Satarina. Karena terlalu dimanjakan, Katarina tumbuh menjadi gadis yang egois, seenaknya sendiri, dan berkemauan keras. Ia tak pernah mau mengalah dan tak ada yang bisa menentang kemauannya. Sementara Putri Satarina tumbuh menjadi gadis yang sabar dan selalu mengalah. Kecantikan dan kebaikan hati Putri Satarina menjadikannya banyak disukai oleh orang-orang di sekelilingnya, khusunya kaum laki-laki. Dan hal itu menjadikan sang ibu tiri dan adiknya menjadi semakin membenci Putri Satarina. Bahkan, kini gadis berhati bersih itu sampai diperlakukan seperti layaknya pembantu. Setiap hari Putri Satarina diwajibkan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Kalau ada pekerjaan yang dianggap kurang beres, Wa Muri tak ragu-ragu memukul dan mencacinya. Bahkan, kalau Putri Satarina tak mendengar panggilan sang ibu tiri, Wa Muri juga akan langsung membentak dan menjewer telinga sang gadis tanpa ampun. Hal itu pada akhirnya membuat Putri Satarina sedih. Sering kali, ia hanya bisa menundukkan kepala seraya berkaca-kaca. Apalagi jika Wa Muri sampai mengucapkan kalau Putri Satarina adalah pembawa sial dan membuat ibundanya meninggal dunia. Putri Satarina sampai bertanya-tanya apakah benar ia yang membawa sial bagi keluarganya. Apakah benar ia yang menyebabkan ibundanya meninggal dunia? Karena seingatnya, dahulu inang pengasuhnya menceritakan kalau ibunya meninggal dunia karena terserang penyakit menular yang ganas dan tak ada seorang tabib pun yang bisa menyembuhkan. Sayangnya, saat itu Le Ode Pakainke Ke tengah berlayar jauh. Sehingga hal itu membuat ibu dan adik tirinya bisa melakukan perbuatan semena-mena kepada dirinya. Meskipun begitu, Putri Satarina berusaha untuk tetap berserah dan berdoa pada Yang Maha Kuasa agar selalu diberikan kekuatan. Pesta Pernikahan Putri Satarina Ketika Putri Satarina berusia 17 tahun, gadis itu bagaikan kembang desa yang selalu memancarkan kecantikan dan keharuman dari dalam dirinya. Banyak pria yang datang dan hendak meminangnya untuk dijadikan istri. Di antara para pemuda itu, hanya ada satu yang menarik perhatian sang putri, yakni pemuda dari negeri seberang. Sang pemuda berparas tampan dan memiliki tutur kata dan perangai yang mengesankan banyak orang. Pemuda bernama La Ode Badawi Garangani itu merupakan anak dari saudagar kaya teman ayahnya. Akhirnya, setelah melalui pembicaraan dari kedua belah pihal, Putri Satarina pun menikah dengan La Ode Badawi Garangani. Pesta pernikahan itu diadakan dengan sangat meriah. Putri Satarina bagaikan Putri Bulan yang dipersunting oleh Pangeran Matahari. Semua orang yang menyaksikan pernikahan itu turut berbahagia dan terharu, kecuali Wa Muri dan Katarina. Mereka berdua justru merasa iri dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh Putri Satarina. Berbagai rencana buruk langsung muncul di kepala sang ibu tiri. Ia bertekad untuk menyingkirkan sang putri entah bagaimana caranya. Karena ia menganggap kalau Putri Satarina adalah penghalang kebahagiaan putri kandungnya. Tak berapa lama setelah pesta pernikahan itu berakhir, Putri Satarina mengandung dan sembilan bulan kemudian ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Bayi yang mirip dengan ayahnya itu kemudian diberi nama La Ode Pasanifu, di mana Pasanifu memiliki arti pemersatu. Harapannya, buah hati mereka bisa menyatukan hati kedua orang tuanya dan orang-orang di sekitar mereka. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Kepergian Putri Satarina Pada suatu hari, La Ode Badawi Garangani harus pergi ke kampung seberang karena mendapat kabar bahwa ayah kandungnya menderita sakit. Karena saat itu La Ode Pasanifu masih terlalu kecil, Putri Satarina tak bisa ikut suaminya dan harus tinggal di rumah untuk mengurus buah hatinya. Ketika La Ode Badawi Garangani berangkat, Wa Muri dan Katarina merasa itu adalah kesempatan yang sempurna untuk melenyapkan Putri Satarina dan menggantikan posisinya. Tanpa menunggu lama Katarina berpura-pura menawarkan diri untuk menjaga La Ode Pasanifu, sementara Wa Muri mengajak Putri Satarina ke sungai. Alasannya mengajak mandi untuk membuang nasib sial setelah tujuh hari kelahiran bayinya. Meskipun awalnya sang putri merasa ragu, tapi karena Wa Muri terus mendesaknya, ia pun terpaksa mengikuti perkataan ibu tirinya itu. Namun, belum sampai ke sungai, mendadak hujan turun dengan derasnya. Hal itu tentunya membuat Putri Satarina semakin merasa ragu, tapi Wa Muri terus memaksanya untuk mempercepat langkahnya. Ketika mereka sampai di tepi sungai, hujan turun semakin deras. Tapi tetap saja Wa Muri memaksa agar Putri Satarina masuk ke dalam air. Tak lama ketika sang putri baru berendam, mendadak banjir besar datang. Meskipun sang putri sudah berusaha berenang secepat mungkin untuk naik ke darat. Namun, dengan sigap sang ibu tiri kembali mendorongnya masuk ke dalm sungai. Naas, sang putri pada akhirnya terbawa arus sungai yang deras. Setelah yakin kalau Putri Satarina tak akan selamat, Wa Muri yang kejam bergegas pulang ke rumah dan menerobos hujan. Sampai di rumah, ia menyuruh Katarina menutup semua jendela kamar sehingga suasana di dalam kamar menjadi gelap gulita. Wa Muri pun menyuruh putri kandungnya untuk menyamar sebagai Putri Satarina dan tak diperbolehkan membuka jendela atau keluar kamar. Bahkan, mereka sampai membohongi La Ode Badawi Garangani dengan berkata bahwa istrinya terkena penyakit mata sehingga tak boleh keluar kamar atau melihat matahari. Tujuh Bidadari Penyelamat Sementara itu, Putri Satarina yang hanyut terbawa banjir rupanya terdampar di pinggir Sungai Lakambolo di daerah Si Keli. Tak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah lubuk berair jernih yang sering digunakan pada bidadari untuk mandi dan bercengkerama bersama. Begitu pula saat itu, seperti biasanya para bidadari mandi, bermain, dan bercanda di dalam air. Mendadak, salah satu bidadari yang mengenakan pakaian berwarna merah muda menemukan sesosok tubuh tergeletak tak jauh dari pohon di tepi sungai. Ia pun langsung memanggil keenam temannya. Melihat kecantikan Putri Satarina, mereka pun merasa kasihan dan memutuskan untuk membawa gadis itu ke kahyangan agar bisa dihidupkan kembali. Namun, rupanya ketika Bunda Ratu, ibunda dari para bidadari mengetahui hal itu, beliau langsung marah. Karena keberadaan seorang manusia bisa mengotori negeri kahyangan, apalagi kalau ternyata mereka tak bisa menyelamatkan nyawa Putri Satarina. Seandainya mereka berhasil menyelamatkan sang putri sekalipun, pada akhirnya Putri Satarina tak akan bisa kemali ke bumi dan harus menjadi penghuni kahyangan selamanya. Namun, para bidadari itu merasa kasihan karena mereka yakin manusia yang diselamatkan itu adalah orang yang baik dan suci dari segala perbuatan buruk. Melihat ketulusan para bidadari yang ingin menyelamatkan manusia itu, Bunda Ratu pun meminta mereka untuk mengumpulkan kembang tujuh rupa, selendang tujung warna, dan air suci yang diisikan ke dalam tujuh kendi kahyangan. Semua benda itu harus disiapkan sebelum matahari terbit. Baca juga Legenda Asal Usul Danau Malawen dan Ulasannya, Sebuah Imbauan untuk Mendengarkan Nasihat Kedua Orang Tua Putri Satarina Menjadi Bidadari Tanpa menunggu lama, para bidadari itu menyiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan. Dengan dipimpin Bunda Ratu, mereka pun menutupi tubuh Putri Satarina dengan selendang tujuh warna, dengan selendang yang berwarna putih diletakkan paling atas. Sesudahnya, kembang tujuh rupa ditaburkan di atas tubuh sang putri dari ujung kepala sampai ke kaki. Kemudian Bunda Ratu mengambil tujuh kendi kecil berisi air suci dan memercikkannya di atas tubuh sang putri satu persatu. Tak lupa Bunda Ratu juga terus membacakan mantra, dan mengayunkan tongkatnya di atas Putri Satarina yang kemudian mengeluarkan sinar kuning. Ajaibnya, setelah sinar kuning tersebut masuk ke dalam kepala sang putri yang masih tertutup selendang. Setelah cahaya itu menghilang, Seluruh kain dan kembang tujuh rupa yang menutupi tubuh Putri Satarina pun raib juga. Tak lama kemudian, sang putri terbatuk dan membuka matanya secara perlahan. Betapa bingungnya Putri Satarina yang terbangun dan kelilingi para bidadari dan Bunda Ratu yang cantik jelita. Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan tentang hidupnya, Putri Satarina diizinkan untuk tinggal di kahyangan hingga tubuhnya kembali sembuh. Sayangnya, setelah tubuhnya sembuh sekalipun, ia tetap tak bisa kembali lagi ke bumi. Apalagi, tak lama kemudian Putri Satarina memiliki sepasang sayap seperti halnya bidadari lainnya. Sehingga sejak saat itu, para bidadari mulai sering mengajak Putri Satarina untuk bermain di balik awan hingga malam tiba. Mimpi Tangisan Bayi Pada suatu malam, setelah kembali dari balik awan, Putri Satarina langsung masuk ke dalam biliknya dan berbaring tanpa sempat berganti pakaian. Entah kenapa saat itu ia merasa sangat lelah hingga langsung terlelap begitu saja. Di dalam tidurnya, ia mendengar suara tangis bayi yang tak berhenti-henti. Bahkan, rasanya seolah tangisan itu menjadi semakin nyaring dan memanggil dirinya. Ketika terbangun, Putri Satarina mendapati dirinya berada di sebuah taman yang indah dan penuh bunga tapi terasa asing. Saat tengah menikmati keindahan bunga warna-warni yang ada di sekitarnya, mendadak ia kembali mendengar suara tangisan bayi yang nyaring. Namun, ia tak bisa mencari sumber suara tangisan itu, karena ia merasa seolah suara itu seakan berasal dari seluruh penjuru. Setelah menghentikan langkah kakinya dan berusaha untuk fokus, ia baru menyadari kalau suara itu berasal dari tempat yang sangat jauh. Putri Satarina pun langsung bertanya-tanya kenapa suaranya terdengar begitu dekat. Ia pun kemudian berusaha mengikuti suara hatinya dan melangkah mendekati sumber suara itu. Namun, belum sampai ia mendekati suara itu, Putri Satarina merasakan ada yang memanggil-manggil namanya seraya menepuk pipinya. Ia pun kemudian membuka matanya dan mendapati tujuh orang bidadari telah berada di sampingnya. Ketika ditanya apa yang terjadi padanya, Putri Satarina justru menangis dan berusaha mencari bayi yang tengah menangis. Mendengar jawaban tersebut, tujuh bidadari hanya bisa saling memandang dan menenangkan sang putri karena di kahyangan tidak ada bayi satu pun. Akhirnya, Putri Satarina berhasil menenangkan diri dan berusaha kembali tidur. Baca juga Kisah Abu Nawas tentang Pesan Bagi Para Hakim dan Ulasan Menariknya, Pelajaran untuk Selalu Profesional dalam Bekerja Pulang ke Bumi Namun, sejak peristiwa mimpi tangisan bayi itu, Putri Satarina tak lagi terlihat ceria seperti sebelumnya. Ia bahkan lebih sering merenung sendirian jauh dari para bidadari yang lain. Karena merasa khawatir, para bidadari pun menanyakan apa yang membuat sang putri termenung dan bersedih. Putri Satarina kemudian meminta para bidadari untuk menolongnya kembali ke bumi. Ia menyatakan bahwa belakangan ini ia merasa rindu pada bumi dan ingin kembali meskipun hanya sesaat. Ia juga berjanji bahwa sesudahnya ia akan kembali lagi ke kahyangan. Berkat janji itu, para bidadari pun bersedia membantunya ketika malam bulan purnama tiba. Dan benar saja, beberapa malam kemudian ketika langit malam dihiasi bulan purnama, mereka turun ke bumi dan mandi di Sungai Lakambolo. Di sana, mereka mandi, bermain, dan bercanda riang bersama. Setelah selesai mandi, Putri Satarina meminta izin untuk menjenguk dan menyusui anaknya sebentar. Para bidadari yang tidak mengetahui kalau sang putri memiliki seorang anak pun terkejut. Putri Satarina pun akhirnya menceritakan tentang buah hatinya yang terpaksa harus ia tinggalkan karena pergi ke kahyangan. Karena merasa iba, pada bidadari pun mengizinkan Putri Satarina untuk menjenguk suami dan anaknya. Namun, mereka juga mengingatkan sang putri bahwa ia kini telah menjadi penghuni abadi kahyangan. Oleh karena itu, ia tak bisa berlama-lama berada di bumi dan harus kembali ke kahyangan sebelum matahari terbit. Putri Satarina pun berjanji. Bertemu dan Menyusui Buah Hati Tercinta Namun, siapa sangka ketika akhirnya kembali bertemu dengan buah hatinya, Putri Satarina terlupa akan janjinya pada para bidadari. Ia terlalu asyik menggendong dan menciumi buah hatinya dengan penuh kerinduan. Ia juga menyusui anaknya dan terus mendekapnya seolah tak ingin berpisah lagi. Para bidadari yang menanti di tepi sungai menjelang dini hari pun mulai merasa gelisah. Mereka akhirnya setuju untuk menjemput sang putri agar bisa segera kembali ke kahyangan. Sesampainya mereka di rumah Putri Satarina, sang putri masih saja menyusui buah hatinya. Karena mereka tak berani masuk ke dalam rumah, para bidadari itu pun menyanyi untuk memanggil Putri Satarina. Ketika mendengar nyanyian itu, sang putri tersadar bahwa waktunya sudah nyaris habis. Untungnya mereka masih tepat waktu untuk kembali ke kahyangan sebelum matahari terbit. Para bidadari pun menjanjikan pada sang putri bahwa pada bulan purnama selanjutnya, mereka akan kembali turun ke bumi untuk mandi. Dengan begitu, setelah mandi Putri Satarina bisa kembali menyusui buah hatinya. Betapa bahagianya sang putri ketika mendengar hal itu. Ia pun akhirnya setuju dan tak sabar menanti kedatangan bulan purnama selanjutnya. Di sisi lain, siapa sangka rupanya nyanyian para bidadari itu didengarkan oleh sepasang suami istri tetangga La Ode Badawi Garangani. Ketika matahari sudah tinggi, mereka pun menemui tetangganya itu dan menceritakan tentang suara nyanyian yang mereka dengarkan semalam. Mendengar cerita itu, La Ode Badawi Garangani mulai berniat menyelidikinya. Kembali Berkumpul Bersama Keluarga Pada bulan purnama berikutnya, seperti biasa para bidadari dan Putri Satarina turun ke bumi dan mandi Sungai Lakambolo. Dan seperti sebelumnya, setelah mandi Puri Satarina kembali pulang ke rumahnya untuk menyusui buah hatinya. Sama seperti sebelumnya, para bidadari pun harus bernyanyi untuk mengingatkan sang putri untuk kembali ke kahyangan. Saat itu, La Ode Badawi Garangani yang tengah bersembunyi pun langsung keluar dari persembunyiannya dan memeluk istri yang ia rindukan. Bahkan, ia langsung memeluk istrinya itu dan mematangkan sayap di punggungnya. Betapa terkejutnya Putri Satarina mendapatkan pelukan itu. Meskipun begitu, ia langsung balik memeluk dan menangis di bahu suaminya saling melepas rindu. La Ode Badawi Garangani meminta istrinya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Dan sesuai permintaan, ia pun menceritakan segalanya, termasuk tentang hidupnya selama di kahyangan. Di tengah cerita itu, para bidadari kembali memanggil Putri Satarina dan memintanya kembali ke kahyangan. Sang putri pun kemudian memohon izin untuk bisa kembali ke kahyangan menyusul tujuh bidadari. Namun, karena sayapnya sudah tak ada, ia tak bisa kembali terbang. Putri Satarina pun menjadi bingung mengapa ia tak bisa terbang kembali di kahyangan. Suaminya kemudian menenangkannya dan memintanya untuk tetap tinggal di rumah. Bahkan, ia sampai menyeret Katarina dan Wa Muri keluar, memasukkan mereka ke lubang kayu dan menggulingkan kayu itu ke jurang sangat dalam. Tak ada seorang pun yang bisa menolong mereka dan berakhirlah hidup ibu dan anak itu. Sementara itu, Putri Satarina akhirnya bisa kembali berkumpul dengan suami dan anaknya dengan penuh kasih sayang. Hingga akhir hidupnya, keluarga itu tak pernah lagi merasakan kesusahan atau penderitaan. Konon, anak cucu dari sang putri berkembang semakin banyak dan menjadi penduduk asli Pulau Buton. Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Unsur Intrinsik Cerita Rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari Sumber Putri Satarina dan Tujuh Bidadari – Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta Setelah membaca cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang berasal dari Buton Utara, Sulawesi Tenggara di atas, kini kamu bisa mengetahui sedikit ulasan seputar unsur intrinsiknya. Di antaranya adalah 1. Tema Inti kisah atau tema dari cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini adalah tentang ketulusan dan kebaikan hati akan memberikan kebaikan dalam hidupmu. Contohnya adalah seperti yang dilakukan oleh Putri Satarina. Karena kebaikan hatinya, akhirnya ia pun mendapatkan bantuan dari para bidadari untuk kembali dihidupkan. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada beberapa tokoh utama dalam cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini. Di antaranya adalah La Ode Pakainke Ke, Wa Ode Sanggula, Wa Kalambe, Putri Satarina, Wa Muri, Katarina, La Ode Badawi Garangani, Tujuh Bidadari, dan Bunda Ratu. La Ode Pakainke Ke merupakan seorang ayah dan suami yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Ia akan melakukan apa pun dan pergi jauh demi kemakmuran keluarganya. Ia juga sangat menyayangi keluarganya dan rela melakukan apa pun demi istri tercinta dan buah hatinya. Sementara Wa Ode Sanggula adalah wanita rupawan yang baik hatinya dan sangat menyayangi keluarganya. Karena begitu menyayangi suaminya, ia bahkan sampai rela menunggu kepulangan sang suami dari berlayar hingga langit gelap. Wa Kalambe merupakan inang pengasuh La Ode Pakainke Ke dan Wa Ode Sanggula yang tulus menjaga majikannya. Ia juga begitu menyayangi putri kedua majikannya itu dan turut serta mendidik bahkan setelah kematian Wa Ode Sanggula. Sayang, umurnya sendiri juga tak lama. Putri Satarina adalah gadis cantik yang memiliki sifat tulus, baik hati, sabar, dan selalu mengalah pada adiknya. Bahkan setelah mengetahui kalau ia dimanfaatkan oleh adik dan ibu tirinya sekalipun, tetap saja fokus utamanya adalah putranya sendiri, bukan balas dendam. Wa Muri adalah ibu tiri Putri Satarina yang memiliki sifat culas dan licik. Ia sering berpura-pura baik pada semua orang kecuali anak tirinya sendiri. Bahkan, ia sampai berpikiran untuk membunuh anak tirinya agar anak kandungnya bisa menjadi istri La Ode Badawi Garangani. Katarina merupakan putri dari Wa Muri dan La Ode Pakainke Ke yang memiliki sifat dan paras buruk. Karena terlalu dimanjakan, ia menjadi gadis yang iri, egois, seenaknya sendiri, dan berkemauan keras. Bahkan, ia tak ragu memanfaatkan kakaknya sendiri. La Ode Badawi Garangani adalah suami yang bertanggung jawab dan sangat menyayangi istri juga anaknya. Ia juga langsung bergerak cepat ketika mendapat kabar dari tetangganya tentang istrinya. Demi istrinya itu, ia rela melakukan apa pun, termasuk menyingkirkan ibu mertua dan adik iparnya yang licik sekalipun. Tujuh Bidadari dan Bunda Ratu adalah makhluk kahyangan yang baik hatinya. Mereka menolong dan menyelamatkan Putri Satarina dari akhir hidupnya kemudian mengangkatnya menjadi salah satu bidadari di kahyangan. 3. Latar Latar lokasi yang banyak disebutkan dalam cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini adalah sebuah desa di Sulawesi Tenggara yang banyak dihuni orang suku Wolio, Sungai Lakambolo tempat Putri Satarina dihanyutkan oleh ibu tirinya, dan kahyangan tempat tinggal para bidadari bersama Bunda Ratu. 4. Alur Alur yang digunakan dalam cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini adalah maju atau progresif. Kisahnya diceritakan secara runut dan berkesinambungan satu sama lain. Dimulai dari La Ode Pakainke Ke dan Wa Ode Sanggula yang tengah menanti kelahiran putrinya, Putri Satarina. Sayang, tak lama setelah melahirkan sang putri, Wa Ode Sanggula harus berpulang ke Yang Maha Esa karena penyakit. Karena merasa kasihan pada anaknya yang tak memiliki pengasuh, La Ode Pakainke Ke pun memutuskan untuk menikah dengan Wa Muri. Sayang, Wa Muri justru tak menyayangi Putri Satarina dengan baik. Bahkan, setelah memiliki putri sendiri yang bernama Katarina, Wa Muri justru tak mempedulikan anak tirinya itu lagi. Apalagi setelah Putri Satarina akhirnya menikah dengan La Ode Badawi Garangani yang rupawan, sifat iri hati Wa Muri membuatnya memutuskan untuk mengakali putri tirinya itu. Putri Satarina pun hanyut di sungai Lakambolo akibat keculasan Wa Muri. Untungnya, sang putri ditemukan dan diselamatkan oleh tujuh Bidadari yang baik hati. Namun, Putri Satarina kini harus menjadi bidadari juga dan tak bisa kembali ke bumi. Kerinduannya pada buah hatinya, La Ode Pasanifu, membuat Putri Satarina meminta diizinkan kembali ke bumi agar bisa menyusui putranya. Setelah beberapa kali menyusui putranya, Putri Satarina akhirnya kembali bertemu dengan suaminya dan tak perlu kembali lagi ke kahyangan. 5. Pesan Moral Pesan moral yang bisa didapatkan dari cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang satu ini adalah untuk selalu melakukan kebaikan bahkan meskipun orang lain berbuat jahat padamu sekalipun. Yakinlah kalau alam semesta pasti akan membalas kebaikan yang kamu lakukan dengan tulus itu. Seperti halnya Putri Satarina yang terus bersabar meskipun dijahati oleh ibu tiri dan adiknya sekalipun. Sehingga ketika akhirnya ia dihanyutkan ke sungai dan meninggal dunia, para bidadari pun berusaha untuk menolongnya. Selain unsur intrinsik, cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini juga mengandung unsur ekstrinsik yang bisa melengkapi kisahnya. Di antaranya adalah nilai-nilai sosial, budaya, agama, dan moral yang berlaku di daerah Sulawesi Tenggara. Baca juga Dongeng Burung Tempua dan Burung Puyuh Beserta Ulasannya, Pengingat Bahwa Tiap Orang Punya Selera Berbeda Fakta Menarik tentang Cerita Rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari Sumber Wikimedia Commons Ingin tahu apa lagi yang bisa kamu dapatkan dari artikel cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang satu ini? Di sini kamu juga bisa mendapatkan beberapa fakta menarik seputar kisahnya, yaitu 1. Kebudayaan Suku Wolio Cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini berpusat pada sebuah wilayah di Sulawesi Tenggara yang banyak dihuni oleh Suku Wolio, bertetangga dengan Suku Tolaki. Wilayah tersebut termasuk Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kolaka, Bau-Bau, Pulau Buton, Muna, dan Kabaena. Oleh karena itu, tak ada salahnya jika kamu mengetahui sedikit seputar suku tersebut dan seperti apa penerapannya dalam kisah ini. Salah satunya adalah tentang pernikahan Suku Wolio yang memiliki aturan bahwa pengantin pria harus ikut tinggal di rumah pengantin perempuan. Bisa dilihat di dalam cerita bahwa La Ode Badawi Garangani pun setelah menikah akhirnya tinggal bersama keluarga istrinya. Kemudian juga terkait kewajiban pria dalam mencari nafkah, sementara perempuan hanya bertugas mengurus seluruh keperluan rumah tangga. Sama seperti La Ode Badawi Garangani dan La Ode Pakainke Ke yang rajin bekerja dan membiarkan istri mereka tinggal di rumah. Baca juga Legenda Oheo dari Sulawesi Tenggara dan Beserta Ulasannya, Kisah Pemuda yang Mencuri Selendang Bidadari Khayangan Cerita Rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari Demikianlah ulasan cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari dari Sulawesi Tenggara yang telah kami rangkum. Dapatkah kamu mengambil pesan positif dari kisahnya? Semoga saja kamu bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari kemudian mengajarkannya pada buah hati tersayang, ya. Kalau masih ingin mencari cerita rakyat lainnya yang tak kalah menariknya, cek saja artikel-artikel lain di PosKata. Di sini kamu bisa mendapatkan Dongeng Kancil dan Kura-Kura, Cerita Rakyat Bawi Kuwu dari Kalimantan Tengah, atau Kisah Datuk Darah Putih dari Jambi. PenulisRizki AdindaRizki Adinda, adalah seorang penulis yang lebih banyak menulis kisah fiksi daripada non fiksi. Seorang lulusan Universitas Diponegoro yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca, menonton film, ngebucin Draco Malfoy, atau mendengarkan Mamamoo. Sebelumnya, perempuan yang mengklaim dirinya sebagai seorang Slytherin garis keras ini pernah bekerja sebagai seorang guru Bahasa Inggris untuk anak berusia dua sampai tujuh tahun dan sangat mencintai dunia anak-anak hingga sekarang. EditorElsa DewintaElsa Dewinta adalah seorang editor di Praktis Media. Wanita yang memiliki passion di dunia content writing ini merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret jurusan Public Relations. Baginya, menulis bukanlah bakat, seseorang bisa menjadi penulis hebat karena terbiasa dan mau belajar. Ada cerita rakyat yang mengisahkan tentang kera dan ayam? Tentu saja, kamu bisa menyimak dongeng lengkap mengenai kisah dari Sulawesi Tenggara tersebut melalui artikel yang kami rangkum di bawah ini. Baca sampai selesai dan renungkan pesan moral di dalamnya, tanah air, banyak fabel yang diambil dari cerita rakyat di nusantara, salah satunya berasal dari Sulawesi Tenggara. Melalui artikel ini, kami menguraikan cerita rakyat Sulawesi Tenggara mengenai dongeng persahabatan kera dan yang menceritakan kedua hewan tersebut mengandung sejumlah pesan moral yang perlu kamu pelajari. Bila perlu, kamu dapat pula mengajarkannya kepada anak, keponakan, atau murid-muridmu jika kamu seorang seperti apa kisah singkat mengenai cerita rakyat kera dan ayam yang berasal dari Sulawesi Tenggara? Kalau kamu sudah penasaran dengan dongeng yang satu ini, langsung saja simak keterangan yang kami paparkan sebagai berikut! Sumber YouTube – TH72 Channel Alkisah pada zaman dahulu, hiduplah seekor kera dan ayam yang saling bersahabat. Keduanya tidak pernah berkelahi dan selalu terlihat rukun. Akan tetapi, rupanya hubungan persahabatan yang akur itu tidak bertahan lama. Semua berubah di suatu sore ketika kera dan ayam pergi berjalan-jalan. Keralah yang pertama kali mengajak ayam untuk pergi sore itu. “Ayam, sahabatku, maukah kau pergi bersamaku sore ini? Sore-sore begini tentu asyik kalau kita pergi berjalan-jalan sebentar,” tutur kera. Tanpa berpikir panjang, ayam langsung menyetujui ide kawan karibnya itu. Ia bahkan menganggap ide kera sangat bagus karena ia sendiri juga sedang penat. “Kau mau mengajakku ke mana?” Tanya ayam. “Aku akan mengajakmu berjalan-jalan ke hutan. Di sana ada tempat yang punya pemandangan indah, tempatku biasa bermain dan mencari makan. Ada juga sungai yang airnya sangat jernih. Kau pasti suka,” si kera menerangkan. Baca juga Cerita Mukjizat Nabi Idris As, Mulai dari Soal Kuda hingga Surga dan Neraka Niat Buruk Kera Sepanjang Perjalanan Kera dan ayam pun berjalan ke hutan. Mereka semakin masuk jauh ke dalam hutan sampai tak terasa matahari sudah hampir tenggelam. Di saat seperti itu, ayam gelisah karena ia tidak dapat melihat dengan jelas begitu malam tiba. “Bagaimana kalau kita pulang saja? Sebentar lagi gelap,” pinta ayam. “Kau benar, ayo kita kembali. Tapi sebelum itu, kita mencari makanan dulu untuk dimakan setelah sampai di rumah,” ujar kera membujuk. Ayam mengiyakan. Mereka juga sudah berjalan kembali untuk keluar dari hutan. Akan tetapi di tengah perjalanan, selagi menahan lapar, di pikiran si kera terbersit niat untuk mencelakakan ayam. Daripada kelaparan dan tak juga menemukan makanan, ia berniat untuk memangsa ayam sahabatnya. “Sepertinya aku tak perlu repot lagi mencari makan. Di depanku sudah ada mangsa lezat yang terlihat empuk dagingnya. Sebelum kumakan, aku akan terlebih dulu mencabuti bulunya. Ah, nikmat sekali,” batin kera. Tak lama setelah membatin demikian, kera langsung menerkam ayam. Ayam yang panik tidak bisa melakukan apa pun. Ia semakin meronta begitu kera mulai mencabut satu persatu bulu dari tubuhnya. Ayam berteriak-teriak dan tetap meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kera. Setelah berhasil lepas, ia lari tunggang langgang keluar dari hutan yang sudah semakin gelap. Sampai-sampai, ia tak peduli ke arah mana selama bisa sembunyi sementara dari sahabatnya itu. Baca juga Cerita Abu Nawas Mencari Cincin dan Ulasannya, Kisah Menggelikan yang Mengandung Pesan Bijak Pertolongan dari Seekor Kepiting Jauh sudah unggas yang satu itu berlari. Tak disangka, ia sampai di dekat tempat tinggal kawannya yang lain, yaitu kepiting. Di sana, ayam terengah-engah hingga suaranya membuat kepiting keluar dari persembunyian sebelum dipanggil. Kepiting terperangah melihat ayam dalam kondisi yang mengenaskan. Ia menahan diri dan membawa ayam masuk sebelum bertanya, “Sahabatku, apa yang terjadi denganmu? Kenapa kau ketakutan dan bulu-bulumu rontok?” “Kera mencelakaiku. Sahabatku sendiri yang kupercaya selama ini hendak memakanku hidup-hidup,” jawab si ayam yang masih panik dan ketakutan. “Keterlaluan! Bagaimana monyet itu bisa berbuat tega kepadamu? Aku tidak bisa membiarkannya. Kita harus memberinya pelajaran!” Amuk kepiting. Setelah ayam merasa tenang, keduanya pun mulai mengatur siasat untuk membalas perbuatan kera. Beberapa hari kemudian, mereka bersama-sama menemui kera dan menjalankan rencana yang telah disusun. Pembalasan Pahit untuk Si Kera Pagi itu, kepiting dan ayam mendatangi kera di rumahnya. Namun, karena ayam masih takut jika harus bertatap muka dengan kera, kepiting yang terlebih dulu membuka suara. “Hai, kera. Aku dan ayam ingin berpamitan,” katanya. “Dua hari dari sekarang, kami akan berlayar ke pulau seberang. Kudengar di sana banyak buah-buahan lezat. Kurasa di sana akan lebih nyaman untuk menyambung hidup,” tuturnya lagi. “Benarkah? Kalau begitu izinkan aku pergi berlayar bersama kalian,” kera bersemangat. Mengingat hal itu merupakan bagian dari rencana, kepiting setuju mengajak serta si kera. Mereka pun bertemu di hari yang sudah ditentukan di tepi pantai di mana sudah tersedia perahu dari tanah liat di sana. Tak lama, ketiganya naik ke atas perahu dan perahu semakin menjauh dari tepian. Bersamaan dengan itu, kera sudah membayangkan bagaimana ia menyantap semua buah lezat yang ada di seberang. Sedangkan di sisi lain, ayam mulai mematuk-matuk dasar perahu untuk melubanginya. Beruntung kera tidak menyadarinya karena ayam dan kepiting melakukannya selagi berpantun ria. Perlahan tapi pasti, lubang di dasar perahu semakin besar dan air laut masuk ke dalamnya. Perahu pun lama-lama tenggelam. Di saat seperti itu, kepiting menyelam ke dalam air lantaran ia pandai berenang. Si ayam pun terbang, mencari daratan terdekat yang bisa dijangkaunya. Sementara si kera kebingungan karena ia tidak dapat berenang. Ia hanya meronta minta tolong sampai seluruh tubuhnya ditelan lautan. Baca juga Cerita Nabi Daud As dan Kitab Zabur yang Diterimanya sebagai Wahyu Unsur Intrinsik Dongeng Kera dan Ayam Sumber YouTube – 3dynda Channel 1. Tema Tema yang terdapat dalam cerita rakyat kera dan ayam di atas adalah tentang persahabatan yang ternodai karena pengkhianatan. Hal ini terlihat dari sikap kera yang di dalam kisah tersebut tiba-tiba berniat memangsa ayam dan menyerangnya saat lengah. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada dua tokoh utama dan satu karakter pembantu yang disebutkan di dalam fabel di atas. Pertama, yaitu ayam yang dikisahkan sebagai sosok penakut, tampak dari hari di mana ia kembali menemui kera bersama kepiting. Kedua, yakni kera yang lincah dan rakus. Saking rakusnya, tokoh antagonis itu sampai menyerang sahabatnya sendiri dan berusaha memakannya hanya karena lapar dan tidak menemukan makanan apa pun di dalam hutan. Terakhir, ada tokoh pembantu yaitu kepiting. Kepiting suka menolong, tetapi menggunakan cara licik untuk membantu ayam. Ini ditunjukkan dalam kisah di mana ia mengatur siasat untuk mencelakakan kera. 3. Latar Latar dongeng kera dan ayam dalam cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara itu ada lebih dari satu. Di antaranya adalah hutan yang dituju oleh ayam dan kera, tempat tinggal kepiting, dan pantai di mana ketiga tokoh bersama-sama. 4. Alur Untuk alur sendiri, kisah yang satu ini menggunakan alur maju. Tidak ada kilas balik, dan ceritanya juga runtut, yaitu dimulai ketika ayam dan kera masih bersahabat hingga bermusuhan dan saling membalas dendam. 5. Pesan Moral Kamu bisa mendapatkan pesan moral penting tentang cara menjaga persahabatan setelah membaca fabel di atas. Bahwasanya, tidak dibenarkan jika seseorang mengkhianati sahabatnya sendiri, terlebih kalau sekadar untuk keuntungannya semata. Pesan penting lain yang juga tersirat di dalam cerita tersebut, yaitu agar kita tidak main hakim sendiri. Memang sakit rasanya dikhianati, tetapi akan salah pula kalau kita membalas dendam dengan balas menyakitinya. Baca juga Simak Kisah Dongeng Klasik Cinderella dan Sepatu Kaca Beserta Ulasan Menariknya di Sini, Yuk! Fakta Menarik di Balik Dongeng Kera dan Ayam 1. Versi yang Berbeda Beredar dan Dikenal Jika membaca cerita rakyat kera dan ayam yang sudah kami paparkan, kamu mungkin sudah bisa menebak versi lain dongeng di atas yang bisa dibilang dikenal pula oleh banyak orang. Bahwasanya, ada versi kisah serupa yang memiliki judul berbeda di mana karakter kepiting juga disebutkan dalam judul. Lebih lanjut, versi itu memuat kisah yang kurang lebih sama. Kisahnya juga sudah banyak dibukukan oleh sejumlah penerbit buku anak lokal maupun nasional, serta diceritakan kembali secara lisan di situs berbagi video seperti YouTube. Baca juga Dongeng Ali Baba dan 40 Pencuri Beserta Ulasan Lengkapnya, Pelajaran tentang Ketamakan Dongeng tentang Kera dan Ayam di Atas Keren, Bukan? Kamu yang suka dengan dongeng pendek, cerita rakyat yang membahas tentang kera dan ayam ini tentu menarik buat kamu simak dan bagikan. Apalagi, kisahnya mudah dicerna dan dapat diceritakan kembali kepada anak-anak. Maka dari itu, jangan ragu untuk membaca artikel-artikel kami lainnya seputar dongeng dan fabel dari dalam maupun luar negeri. Di sini, kamu punya koleksi kisah Putri Salju, Roro Jonggrang, Abu Nawas, dan masih banyak lagi. PenulisArintha AyuArintha Ayu Widyaningrum adalah alumni Sastra Indonesia UNS sekaligus seorang penulis artikel nonfiksi yang juga punya banyak jam terbang menulis fiksi, seperti cerpen dan puisi. Terkadang terobsesi menulis skrip untuk film atau sinema televisi. Punya hobi jalan-jalan di dalam maupun luar negeri. Sulawesi Tenggara - Indonesia Rating 25 pemilih Gunung Mekongga memiliki ketinggian m di atas permukaan laut, terletak di Kecamatan Ranteangin, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Menurut bahasa setempat, kata gunung mekongga berarti gunung tempat matinya seekor elang atau garuda raksasa yang ditaklukkan oleh seorang pemuda bernama Tasahea dari negeri Loeya. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi di daerah itu, sehingga Tasahea menaklukkan burung garuda itu? Lalu, bagaimana cara Tasahea menaklukkannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Nama Gunung Mekongga berikut ini. * * * Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume kini bernama negeri Kolaka dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis. Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan cemas. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya. Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba kini bernama Belandete ada seorang cerdik pandai dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar. Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi. ”Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul. ”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan. ”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh bambu yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi. Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke negerinya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria, baik yang ada di negeri sendiri maupun dari negeri lain, untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda. Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai negeri untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Negeri Kolaka. ”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan. Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Setelah melalui penyaringan yang ketat, akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari negeri Loeya. Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu. Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu. ”Koeeek... Koeeek... Koeeek... !!!” pekik burung garuda itu kesakitan. Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu. Tasahea menombak burung garuda Sementara itu, penduduk negeri Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan. Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi. ”Negeri kami dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan. ”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi kepada utusan yang baru datang dengan tergopoh-gopoh. ”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka. ”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi. Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit. ”Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!” demikian doa Larumbalangi. Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur bersahut-sahutan diiringi suara petir menyambar sambung-menyambung. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut. Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garuda. Budak laki-laki dari Negeri Loeya yang berhasil menaklukkan burung garuda tersebut diangkat derajatnya menjadi seorang bangsawan. Sedangkan Larumbalangi yang berasal dari negeri Solumba diangkat menjadi pemimpin Negeri Kolaka, yaitu negeri yang memiliki tujuh bagian wilayah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan ”Tonomotuo”. * * * Demikian ceita Asal Mula Nama Gunung Mekongga dari daerah Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Orang yang tidak mudah berputus asa adalah termasuk orang yang senantiasa berpikiran jauh ke depan dan pantang menyerah jika ditimpa musibah. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku masyarakat Kolaka yang ditimpa musibah. Mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari bantuan agar negeri mereka terbebas dari bencana. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu yang berpikiran jauh,ditimpa musibah pantang mengeluh yang berpikiran jauh,tahu mencari tempat berteduh Samsuni /sas/97/09-08 Sumber Isi cerita diadaptasi dari Sidu, La Ode. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara. Jakarta - 29k, diakses tanggal 3 September Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa. Kredit foto Dibaca kali Hak Cipta Telah Didaftarkan pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonseia Copyrights by Dilarang keras mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan cerita-cerita di website ini tanpa seizin penulis dan Silahkan memberikan rating anda terhadap cerita ini. Komentar untuk "" Berikan Komentar Anda Kamu sedang mencari bacaan untuk menghabiskan waktu luang? Bila ingin membaca cerita rakyat Nusantara, kisah dari Sulawesi Selatan berjudul Oheo mungkin bisa kamu jadikan pilihan. Kisah lengkapnya bisa kamu baca di artikel ini!Sulawesi Tenggara memiliki banyak legenda atau cerita rakyat. Selain La Sirimbone, La Moelu, dan Gunung Mekongga, ada pula cerita rakyat Oheo. Legenda tersebut memiliki kisah yang menarik dan sarat adalah seorang pemuda yang bekerja sebagai petani tebu. Dalam cerita rakyat ini, ia mencuri selendang dari Bidadari yang sedang mandi di sebuah sungai. Sempat tak mengakui perbuatannya, pemuda itu akhirnya meminta sang Bidadari untuk menikah bagaimanakah kelanjutan cerita rakyat Oheo? Apakah bidadari itu setuju menikah dengannya? Kalau penasaran, teruskan saja membaca artikel ini. Tak hanya kisahnya saja, berikut ini telah kami paparkan juga unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya. Selamat membaca!Cerita Rakyat Oheo Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda bernama Oheo yang tinggal di sebuah desa kecil di Sulawesi Tenggara. Untuk mencukupi kebutuhan kesehariannya, ia bekerja sebagai seorang petani tebu. Tiap pagi, ia pergi ke hutan untuk mengunduh tebu. Di dalam hutan itu terdapat sungai yang airnya sangat jernih. Usai mengunduh tebu, ia mencucinya di sungai sambil melihat burung-burung nuri yang sedang asyik bermain air. Pada suatu siang, Oheo yang hendak ke sungai untuk mencuci tebu, mendengar suara para gadis. Ia lalu mengintip sungai itu dari balik pohon. Ternyata, ada 7 bidadari cantik yang sedang mandi di sungai itu. “Wah, baru kali ini aku melihat para-paras cantik bidadari. Aku ingin menikahi salah satu dari mereka. Tapi, bagaimana caranya, ya?” ucap pria itu dalam hati. Saat sedang berpikir, ia melihat selendang miliki para bidadari itu yang letaknya tak jauh dari persembunyiannya. Dengan cepat dan acak, ia mengambil salah satu selendang. “Mungkin saja aku bisa menikahi pemilik selendang ini,” ujarnya dalam hati. Ia lalu menyembunyikan kain itu di ujung kasau bambu. Kemudian, ia kembali ke sungai untuk melihat siapakah pemiliki selendang itu. Ia lalu mendapati sang bidadari sedang kebingungan mencari selendangnya. Ia tak bisa kembali ke khayangan. Sedangkan bidadari yang lain sudah kembali ke khayangan terlebih dahulu. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Gunung Pinang dan Ulasan Lengkapnya, Kisah Seorang Anak Laki-Laki yang Durhaka Mendekati Sang Bidadari “Hmm, cantik sekali bidadari ini. Aku akan lekas mendekatinya,” ucap Oheo dalam hati. Ia lalu berjalan mendekati wanita itu. “Hai, wanita cantik. Apa yang kau lakukan di sini? Siapa namamu?” tanya pria itu pura-pura tidak tahu. “Namaku Putri Anawai. Aku sedang mencari-cari selendangku. Apakah kamu melihatnya?” tanya Putri. “Selendang? Aku tak melihatnya,” ucap Oheo berbohong. “Benarkah kamu tak melihatnya? Tidak ada orang lain di hutan ini selain kamu. Jangan-jangan kamu menyembunyikannya?” tanya sang Putri memelas. “Kenapa kau menuduhku? Akan aku bantu mencari selendangmu. Tapi, jika aku berhasil menemukannya, kamu harus menikahiku!” ucap pria itu. “Aku tidak mau! Tujuanku mencari selendangku adalah untuk kembali ke asalku. Aku bisa mencarinya sendiri. Kau tak perlu membantuku,” bentak Putri Anawai. Lalu, Putri Anawai mencari ke seluruh penjuru sungai dan hutan. Tapi, ia tak kunjung menemukan selendenganya. Hingga akhirnya, ia pun kelelahahn dan menangis karena tak bisa pulang. Setelah itu, Oheo kembali menemui Putri Anawai yang sedang putus asa. Ia lalu menunjukkan selendang milik bidadari itu. “Inikah yang kamu cari?” ucap Oheo. “Benar kataku! Kau menyembunyikan selendangku! Cepat kembalikan milikku sekarang juga!” bentak Putri Anawai. “Tidak semudah itu, Putri. Aku akan mengembalikannya jika kamu mau menikah denganku,” ucap Oheo memaksa. Perjanjian Pernikahan Awalnya, Putri Anawai menolak. Namun, karena tak bisa berkutik, ia pun menerima permintaan pria itu. “Baiklah, aku akan menerima tawaranmu. Tapi ada syarat yang harus kau penuhi!” ucap sang Putri. “Harusnya sedari tadi kau menerima tawaranku. Kenapa harus mempersulit hidupmu sendiri. Cepat ucapkan permintaanmu. Aku akan berusaha untuk mengabulkannya,” ucap petani tebu ini. “Aku tak ingin membereskan rumah. Kamu harus memperlakukanku dengan istimewa. Jika nanti aku punya anak darimu, kamulah yang harus membersihkan kotorannya,” ucap sang Putri. Tanpa pikir panjang, Oheo langsung menyetujui permintaan tersebut. “Baiklah, aku setuju dengan permintaanmu. Bagiku hal-hal tersebut tidaklah menjadi masalah buatku,” ucapnya. Kemudian, mereka pun melangsungkan pernikahan. Sesuai perjanjian, Putri Anawai tidak melakukan pekerjaan rumah. Mulai dari masak, membersihkan rumah, hingga bekerja, semua Oheo lakukan sendiri. Tak berselang lama setelah menikah, Putri Anawai pun hamil dan melahirkan. Setiap anaknya buang hajat, Oheo lah yang membersihkan kotorannya. Lama kelamaan, Oheo merasa tak terima. Ia kerap memarahi Putri Anawai. “Ini kan pekerjaan sederhana! Harusnya kamu tak perlu membuatku membersihkan kotoran bayi ini!” bentak pria itu. “Bukannya kau sudah berjanji bakal membersihkan kotoran anak kita? Kalau kau tak bisa menepatinya, cepat kembalikan selendangku. Lebih baik aku kembali ke khayangan,” ancam Putri Anawai. Merasa takut ditinggal oleh sang istri, Oheo pun menuruti perkataannya. Ia dengan sangat terpaksa membersihkan kotoran dari anak mereka. Setiap hari, ia juga memandikan dan mengganti baju sang anak. Tak Lagi Takut dengan Ancaman Putri Anawai Pada suatu hari, Putri Anawai berteriak-teriak memanggil suaminya. Alasannya karena sang anak buang air besar. Karena sedang lelah dan kesal, Oheo menolak permintaan sang istri. “Kali ini aku tak akan membersihkannya. Aku lelah!” ucap sang suami. “Bagaimana dengan janji-janjimu? Kau hendak mengingkari janjimu!” ucap Putri Anawai. “Ah terserah! Jika kau ingin kembali ke khayangan, kembalilah! Aku tak peduli lagi dengan janji kita!” bentak Oheo seraya meninggalkan rumah. Putri Anawai lalu membersihkan kotoran anaknya sambil menangis. Ia teringat akan janji-janji suaminya di masa lalu. Tak hanya itu, dirinya juga teringat dengan kehidupannya semasa di khayangan. Karena itu, ia pun memutuskan untuk kembali ke khayangan. Ia berusaha mencari selendangnya di rumah. Tak lama kemudian, ia pun berhasil menemukannya. Ia lalu mencium anaknya sambil menangis. “Maafkan aku, Nak! Ayahmu telah ingkar janji. Ibu tak bisa hidup seperti ini. Maafkan Ibu harus meninggalkanmu,” ucap Putri Anawai sambil memeluk anak bayinya. Ia lalu mengenakan selendangnya dan kembali ke khayangan. Kembalinya ke rumah, Oheo terkejut mendengar anaknya menangis sendirian. Ia pun mencari-cari istrinya, tapi tak kunjung ketemu. Lalu, ia melihat tempatnya menyimpan selendang. “Ah, kamu ternyata benar-benar kembali ke khayangan,” ucapnya menyesal telah membentak Putri Anawai. Merawat Anak Seorang Diri Oheo merasa kesulitan merawat anaknya seorang diri. Tiap hari ia menggendong anaknya yang menangis minta susu. Karena sudah tak kuat lagi melihat anaknya menangis, ia pun mencari tahu bagaimana cara pergi ke khayangan. Ia sangat ingin bertemu dengan Putri Anawai. Setelah mencari-cari tahu, ia akhirnya berhasil mendapatkan informasi penting. Menurut para warga, Oheo harus menemui Suku Tolaki untuk meminta bantuan pergi ke khayangan. Dengan membawa anaknya, Oheo pun memberanikan diri untuk menemui orang-orang Suku Tolaki. Ia mengatakan alasannya ingin pergi ke khayangan dengan anaknya. Pemimpin Suku Tolaki pun setuju untuk membantunya. Tapi, ada syarat yang harus ia penuhi. Syarat tersebut cukup sulit, yakni Oheo harus membuat cincin dari rotan bernama ue wai yang tumbuh di hutan belantara. Meski berat, dengan senang hati Oheo mencari rotan ue wai sambil menggendong anaknya. Ia sangat menyesal telah memperlakukan sang istri dengan sangat buruk. Setelah berhasil membuat banyak cincin, Oheo kembali menemui Suku Tolaki. Kemudian, pemimpin suku itu memintanya memeluk erat-erat sang anak dan duduk di atas cincin-cincin yang terbuat dari ue wai tersebut. Pemimpin Suku Tolaki juga berpesan, “Tutuplah matamu. Jika nanti ada suara pertama, jangan buka mata. Tetaplah tutup matamu da gendong erat-erat anakmu. Jika kau sudah mendengarkan suara kedua, bukalah matamu.” Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Tiba di Khayangan Oheo mengikuti saran kepala Suku Tolaki tersebut. Setelah mendengar suara kedua, ia telah berada di khayangan. Keberadaannya pun diketahui oleh salah satu bidadari khayangan. Dengan cepat, bidadari itu melaporkan keberadaan Oheo pada sang Raja. “Tuan, aku melihat seorang pria manusia bersama anaknya di halaman khayangan. Tampaknya, pria itu adalah Oheo yang sempat mencuri selendang Putri Anawai,” ucapnya. Sang Raja terkejut, “Bagaimana bisa ia sampai ke sini? Baiklah, aku akan mengurusnya. Sampaikan pada Putri Anawai bahwa suami dan anaknya datang kemari.” Setelah itu, Raja menemui Oheo. “Wahai manusia, bagaimana kau datang kemari? Apa tujuanmu sebenarnya?” tanya sang Raja. “Mohon maaf, Baginda Raja. Nama saya Oheo, suami dari Putri Anawai kala di bumi. Tujuan kedatatangan saya adalah untuk minta maaf pada Putri Anawai. Dan putra kecil ini adalah anak kami. Ia setiap hari menangis mencari ibunya,” ucap Oheo. “Hmm, pertama-tama, perbuatanmu mencuri selendang anakku, Putri Anawai, itu salah. Kedua, kau tak seharusnya mengkhianati janji kalian. Meski begitu, aku menghargai usahamu untuk beremu dengan anakku,” ucap sang Raja dengan bijak. “Saya mengaku salah, Raja. Saya ke mari hendak meminta maaf dan mengakui segala kesalahan saya. Demi anak kami, saya rela melakukan apa pun asal Putri Anawai mau kembali ke bumi,” ucap Oheo. “Tentu tak semudah itu, Pemuda! Ada syarat yang harus kau penuhi untuk bisa membawa kembali putriku ke bumi. Untuk saat ini, aku melarangmu bertemu dengan anakku,” ucap sang Raja. “Syarat apa yang harus kupenuhi, Baginda Raja?” tanya pemuda itu, “Pertama, kamu harus mampu menumbangkan batu-batu besar di khayangan ini. Kedua, kamu harus memungut bibit pada yang tertabur di padang rumput hingga bersih tanpa tersisa sedikit pun. Terakhir, kamu harus menemukan istrimu di tempat yang sangat gelap. Kalau gagal satu saja ujian, kau akan kukembalikan ke bumi tanpa Putri Anawai,” ucap sang Raja. Menjalankan Setiap Misi Ia berhasil menjalankan misi pertama dan kedua. Hal itu karena ia mendapatkan bantuan dari para hewan di khayangan, seperti tikus dan burung. Namun, ia tak yakin dengan ujian terakhir. “Bagaimana mungkin aku bisa menemukan Putri Anawai di tempat yang gelap gulita?” ucap Oheo dalam hati. Ia merasa misi ketiganya ini tak akan bisa ia selesaikan. Ia pun sedih teringat nasib anaknya yang tumbuh tanpa seorang ibu. Dalam keadaan bingung dan panik, tiba-tiba saja ada seekor kunang-kunang mendatanginya. “Apa yang sedang kau pikirkan? Tampaknya kau sangat bingung,” tanya kunang-kunang itu. “Hai, kunang-kunang. Aku mendapatkan tiga tugas yang sangat berat dari Raja. Kedua tugas sudah kuselesaikan. Kurang satu tugas terakhir yang tampaknya tak bisa kuselesaikan,” ucap Oheo lemas. “Memangnya, apa tugas terakhirmu? Barangkali aku bisa memberimu bantuan,” ucap kunang-kunang. “Aku harus menemukan istriku di sebuah kamar yang gelap gulita. Sedangkan dalam kamar itu terdapat saudara-saudaranya. Mana bisa aku asal pilih wanita. Jika aka salah pilih, bisa-bisa Raja mengembalikanku dan anakku ke bumi tanpa Putri Anawai,” jelas Oheo. “Oh, jadi begitu rupanya. Kamu tidak perlu cemas. Aku akan membantumu,” ucap binatang kecil itu. “Bagaimana caranya kau membantuku?” tanyanya. “Lihatlah ekorku, bercahaya bukan? Nah, aku akan hinggap di setiap wanita yang ada di kamar itu, tugasmu adalah memastikan, wanita mana yang merupakan istrimu,” ujar kunang-kunang. “Wah, ide yang sangat cemerlang kunang-kunang. Terima kasih mau membantuku,” ujar Oheo. Saat malam menjelang, hati Oheo pun makin gelisah. Meski akan mendapatkan bantuan dari kunang-kunang, ia tetap khawatir tidak bisa menyelesaikan misi terakhir. “Ini adalah misi terakhir yang menentukan apakah aku akan berhasil membawa pulang Putri Anawai atau tidak. Jika gagal, sungguh aku teramat kasihan dengan anakku,” ucap Oheo merasa cemas. Menjalankan Misi Terakhir Tibalah saatnya misi terakhir tuk Oheo selesaikan. Ia bersama dengan kunang-kunang memasuki sebuah ruangan yang gelap gulita. Perlahan-lahan, kunang-kunang itu menghinggapi satu persatu wanita yang ada di ruangan itu. Setelah beberapa wanita terlewati, berhasilah Oheo menemukan istrinya. Pria itu tersenyum lebar. Ia langsung memegang tangan istrinya dan berkata, “Putri Anawai, maafkan aku. Aku berjanji tak akan membuatmu membersihkan kotoran anak kita lagi. Kumohon kembalilah. Anak kita menangis mencarimu setiap hari,” ucap Oheo. Karena berhasil menuntaskan ketiga tugas dari Raja, Oheo pun diperbolehkan membawa pulang Putri Anawai. Hanya saja, sang Putri tampak kesal dan agak keberatan. Ia sebenarnya tak ingin kembali ke bumi. Namun, karena Raja telah mengutusnya, mau tak mau Putri Anawai, kembali ke bumi dan tinggal dengan Oheo. Mereka lalu turun ke bumi menggunakan seutas tali. Sesuai dengan janjinya, Oheo selalu membersihkan kotoran anaknya. Ia juga tak lagi membentak sang istri. Untuk mempermudah merawat anak, Oheo membuat pekarangan tebu di sekitar rumahnya. Ia tiap pagi hingga sore bekerja di pekarangan. Ketika si kecil buang air besar, dengan sigap pria itu membersihkannya. Ketulusan hati dan kegigihan Oheo membuat Putri Anawai terkesima. Sang bidadari itu pun lama kelamaan mencintai suaminya. Karena telah cinta, Putri Anawai dengan sukarela membersihkan kotoran anaknya. Ia juga terkadang membantu suaminya bekerja di pekarangan. “Karena telah tinggal di bumi, aku akan hidup layaknya seorang manusia yang bekerja dan saling membantu, Suamiku,” ucapnya pada sang suami. Kini, mereka pun hidup makmur dan bahagia. Hasil perkebunan tebu milik Oheo sangatlah berlimpah. Tak jarang, Raja dan para bidadari lainnya berkunjung ke rumah Oheo dan Putri Anawai. Baca juga Legenda Putri Ular dari Bengkulu dan Ulasannya, Kisah Seorang Putri Cantik yang Berubah Menjadi Ular Unsur Intrinsik Usai membaca cerita rakyat Oheo dan Putri Anawai, kurang lengkap rasanya bila kamu tak menyimak unsur intrinsiknya. Mulai dari tema hingga pesan moralnya, berikut adalah ulasan singkatnya; 1. Tema Inti cerita atau tema cerita rakyat Oheo adalah tentang pernikahan seorang manusia biasa dengan bidadari. Sesuai kesepakatan, bidadari mau menikah dengan manusia. Tapi, manusia itu melanggar janji sehingga bidadari pun murka dan memutuskan tuk kembali ke khayangan. Namun, karena perjuangan si manusia, akhirnya bidadari itu mau kembali ke bumi lagi. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada dua tokoh utama dalam cerita rakyat ini, yaitu Oheo dan Putri Anawai. Awalnya, Oheo digambarkan sebagai petani tebu yang tak berperesaan karena tega mengambil salah satu selendang dari para bidadari. Ia bahkan memaksa sang pemilik selendang itu untuk menikah dengannya. Mereka lalu menikah dengan beberapa peryaratan. Akan tetapi, petani tebu ini mengingkari janjinya. Meski begitu, pada akhir cerita Oheo mampu mengubah sikapnya. Ia menjadi pria sejati yang tulus dan gigih mencintai istrinya. Sementara itu, Putri Anawai digambarkan sebagai sosok bidadari yang cantik jelita. Ia mengalami masa yang sulit dan berat karena selendangnya dicuri oleh Oheo. Karena itu, sikapnya menjadi egois dan maunya menang sendiri. Pada akhirnya, ia bersikap baik setelah mendapatkan perlakuan baik dan tulus dari Oheo. Selain mereka berdua, kisah ini juga memiliki tokoh pendukung yang turut mewarnai jalan ceritanya. Ia adalah sang Raja alias ayah dari Putri Anawai. Cerita ini menggambarkan sang Raja sebagai sosok yang bijak dan baik hati. 3. Latar Legenda ini menggunakan beberapa latar tempat. Pada awal cerita, latar yang digunakan adalah hutan, sungai, dan kebun tebu. Lalu, cerita berpindah ke rumah Oheo, tempat Suku Tolaki, dan khayangan. 4. Alur Cerita Rakyat Oheo Cerita rakyat Oheo memiliki alur maju. Kisahnya bermula dari seorang pemuda bernama Oheo yang mengambil selendang bidadari bernama Putri Anawai. Oheo lalu memaksa Putri Anawai untuk menikah dengannya. Dengan syarat tak ingin membersihkan kotoran anaknya, sang bidadari cantik itu mau menikah dengan Oheo. Awalnya, pemuda itu menepati janjinya. Namun, ia melanggar janjinya. Putri Anawai pun murka dan memutuskan tuk pulang ke khayangan, meninggalkan anak dan suaminya. Tentu saja Oheo kelimpungan. Setiap hari anaknya menangis mencari ibunya. Karena itu, pria itu menemui Suku Tolaki untuk meminta bantuan agar bisa pergi ke khayangan untuk bertemu dengan istrinya. Suku Tolaki sanggup membantunya asalkan ia bisa membuat cincin-cincin dari rotan ue wai. Ia pun sanggup memenuhi persyaratan tersebut dan segera naik ke khayangan bersama sang anak. Sesampainya di sana, ia harus menjalankan tiga misi dari sang Raja untuk bisa membawa pulang Putri Anawai. Dibantu oleh beberapa hewan, ia sanggup menyelesaikan ketiga misi tersebut. Meski awalnya keberatan kembali ke bumi, akhirnya Putri Anawai pun luluh dengan kegigihan dan ketulusan hati Oheo. 5. Pesan Moral Apa sajakah pesan moral dari cerita rakyat Oheo dari Sulawesi Tenggara ini? Karena ceritanya cukup panjang, tentu saja ada beberapa pesan moral atau amanat yang bisa kamu petik. Pertama, janganlah mengambil apa yang bukan milikmu. Kamu tak akan tahu betapa berharganya benda tersebut bagi pemiliknya. Jangan seperti Oheo yang mengambil selendang milik Putri Anawai. Padahal, tanpa selendang itu, sang bidadari tak bisa kembali ke asalnya. Amanat kedua, janganlah kamu memaksakan kehendak dan keinginanmu. Ketiga, jangan mudah menyerah. Oheo tak putus asa dan terus berusaha untuk mendapatkan hati Putri Anawai. Ia menyesal telah mengingkari janjinya. Karena itu, ia berjuang mati-matian tuk bisa hidup kembali bersama dengan Putri Anawai. Amanat terakhir, hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Karena telah berusaha dengan sepenuh hati, akhirnya Oheo berhasil membawa pulang Putri Anawai. Ketulusan dan kegigihan pria itu juga mampu meluluhkan perasaan Putri Anawai. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupakan juga unsur ekstrinsik yang membangun cerita rakyat Oheo. Unsur ekstrinsik ini biasanya berhubungan dengan nilai moral, sosial, dan budaya. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Fakta Menarik Kisah ini memiliki beberapa fakta menarik yang sayang untuk kamu lewatkan. Karena itu, yuk, simak langsung saja dua fakta menarik dari cerita rakyat Oheo berikut ini; 1. Ada Versi Cerita Lainnya Seperti cerita rakyat pada umumnya, legenda Oheo juga memiliki beragam versi cerita. Secara garis besar tetap sama, cerita rakyat Oheo mengisahkan tentang seorang pemuda yang mencuri selendang bidadari. Namun, pencurian itu dilakukannya lantaran kesal terhadap burung nuri yang kerap merusak ladang tebu miliknya. Setelah ia teliti asal mulanya, burung-burung nuri itu ternyata datang dari khayangan bersama dengan bidadari-bidadari cantik. Selain itu, perbedaan kisahnya juga terletak pada cara Oheo pergi ke khayangan. Ia tak membuat cincin dari rotan ue wei, melainkan memanjatnya. Rotan itu sangat tinggi sehingga bisa tembus sampai khayangan. Sesampainya di khayangan, kedatangannya tidak disambut dengan baik oleh Raja dan para bidadari. Mereka mengecamnya karena telah mencuri selendang milik Putri Anawai. Namun, karena merasa iba dengan anak Oheo dan Putri Anawai, sang Raja pun mengizinkan putrinya kembali ke bumi. 2. Mirip dengan Kisah Jaka Tarub dari Jawa Jika di Sulawesi Tenggara ada kisah Oheo, di Pulau Jawa populer dengan kisah Jaka Tarub. Kisah dalam kedua cerita rakyat tersebut hampir sama. Jaka Tarub juga mengambil salah satu selendang dari 7 bidadari yang sedang mandi di sebuah danau. Selendang itu ternyata milik Nawangwulan. Jaka Tarub menyembunyikan selendang itu lalu pura-pura menolong Nawangwulan. Setelah itu, mereka menikah dan tinggal bersama, kemudian memiliki momongan. Lambat laun, Nawangwulan menemukan bahwa selendangnya tersembunyi di lumbung padi. Sontak, hal tersebut membuatnya marah besar. Ia pun meninggalkan Jaka Tarub dan anaknya, kemudian kembali ke khayangan. Kadang-kadang Nawangwulan kembali ke bumi untuk menyusui anaknya. Akan tetapi, ia enggan menemui Jaka Tarub. Ia sangat marah dan tak akan pernah memaafkan pria yang telah membohonginya itu. Baca juga Legenda Asal Usul Danau Malawen dan Ulasannya, Sebuah Imbauan untuk Mendengarkan Nasihat Kedua Orang Tua Tambah Wawasan Lewat Cerita Rakyat Oheo dari Sulawesi Tenggara Ini Demikianlah artikel yang membahas tentang cerita rakyat Oheo yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Semoga saja, membaca kisahnya bisa menambah wawasanmu tentang cerita-cerita Nusantara. Dari cerita ini, diharapkan juga kamu dapat memetik beberapa pesan moralnya. Kalau suka dengan kisahnya, bagikan artikel ini ke teman-teman, saudara, adik, atau anakmu. Teruntuk yang butuh kisah lainnya, langsung saja kepoin kanal Ruang Pena di Ada legenda Tanjung Menangis, kisah Putri Tangguk, asal-usul nama Balikpapan, dan masih banyak lagi. Selamat membaca! PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri. Kamu suka membaca cerita rakyat Nusantara? Dari Sulawesi Selatan, ada kisah yang cukup inspiratif dan menarik tuk dibaca, yakni cerita rakyat La Moelu. Bila ingin membacanya, langsung saja baca artikel berikut ini!Membaca adalah kegiatan positif dan bermanfaat yang bisa kamu lakukan di waktu luang. Untuk lebih mengenal budaya Nusantara, kamu bisa perbanyak membaca legenda atau cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, ada cerita rakyat La Moelu yang kisahnya cukup menarik dan Moelu adalah seorang anak-anak laki yang tinggal bersama ayahnya. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Sedihnya, ayahnya telah berusia senja dan tak bisa lagi mencari bagaimanakah anak yatim tersebut bertahan hidup? Penasaran dengan kisah selengkapnya? Tak perlu berlama-lama lagi, yuk, langsung saja simak cerita selengkapnya di artikel ini! Tak hanya ceritanya saja, ulasan seputar unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya juga telah kami paparkan!Cerita Rakyat La Moelu Pada zaman dahulu, di suatu desa kecil di Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama La Moelu. Saat ia masih bayi, ibunya meninggal sehingga dirinya hanya tinggal dengan ayahnya saja. Sayangnya, sang ayah telah tua renta dan tak bisa mencari nafkah. Jangankan bekerja, untuk berjalan saja ayahnya kesusahan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, La Moelu yang tiap hari harus bekerja keras. Setiap pagi, ia pergi ke hutan tuk mencari kayu bakar yang kan dijualnya ke pasar. Hasil penjualan biasanya ia gunakan untuk membeli beras. Setelah itu, ia pergi ke sungai tuk menangkap ikan buat lauk makan. Pada suatu hari, anak pekerja keras ini telah menyiapkan banyak cacing tanah yang kan ia gunakan sebagai umpan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat segerombolan ikan muncul di permukaan sungai. “Wah, banyak sekali ikannya. Tampaknya, hari ini aku bisa mendapatkan banyak ikan. Aku sudah tak sabar ingin segera memancingnya,” ucapnya antusias. Ia bergegas menyiapkan peralatannya memancing. Di sebuah batu dekat tepi pantai, ia duduk dan menjulurkan pancingnya. Ia menunggu ikan memakan umpannya sembari bersiul-siul. Sayangnya, sudah hampir satu jam ia menunggu, tak ada seekor pun yang terperangkap umpannya. “Lah, ke mana perginya ikan-ikan tadi? Jelas-jelas tadi aku melihat mereka bergerombol. Kenapa sekarang tak ada satu pun yang terperangkap pada pancingku,” gumamnya. Hari pun semakin siang. Tapi, tak satu pun ikan berhasil ia tangkap. Sempat ingin menyerah, La Moelu lalu teringat akan ayahnya di rumah. “Kalau menyerah, nanti aku dan ayah makan apa?” ucapnya dalam hati. Baca juga Legenda Asal Usul Burung Cendrawasih dan Ulasannya, Kisah Si Burung Surga yang Mengandung Amanat Bermakna Menangkap Ikan Mungil Alhasil, ia pun tetap memancing dan bersabar menunggu ikan. Beberapa saat kemudian, pancingnya bergetar. Tampaknya, ada ikan yang memakan umpannya. Dengan penuh hati-hati, ia menarik kailnya. Namun, yang berhasil ia tangkap adalah seekor ikan kecil. Meski begitu, La Moelu tetap senang karena ikannya sangat indah. Warnanya oranye dengan ekor meliuk-liuk. “Aku tak akan memakannya. Akan kujadikan ikan ini sebagai peliharaan,” gumamnya dalam hati. Lalu, ia lanjut memancing dan berhasil mendapatkan ikan besar. Karena matahari sudah semakin panas, ia pun pulan dengan hati gembari. Setibanya di rumah, ia memamerkan hasil tangkapannya ke sang ayah. “Ayah, lihatlah! Aku mendapatkan ikan kecil yang sangat bagus,” teriaknya bahagia. “Wah, warnanya sungguh cantik, anakku. Ikan jenis apa ini?” ucap sang ayah terkagum. “Aku juga tak tahu, Yah. Apakah boleh aku memeliharanya, Yah?” tanya sang anak. “Tentu saja boleh. Kalau pun dimakan, ikan ini tak akan membuat kita kenyang,” ujar sang ayah. La Moelu lalu memindahkan ikan tangkapannya itu ke dalam baskom yang berisi air. Ikan itu ia beri makan agar tak kelaparan. Keesekan harinya, ia terkejut karena ikannya telah sebesar baskom. “Ayah, lihatlah! Ikan ini kenapa sudah sebesar ini? Kemarin bukankah sangat kecil? Bagaiamana bisa ia tumbuh begitu cepatnya?” ujarnya kebingungan. Sang ayah pun terkejut. Ia pun tak menyangka bila ikan itu bisa membesar dengan cepatnya. “Segera pindahkan ikannya ke dalam lesung, Nak. Kasihan jika ia merasa kesempitan,” pinta sang ayah. Dengan cepat, La Moelu langsung mengisi lesung dengan air. Ia lalu memindahkan ikannya ke dalam lesung. Setelah memberikan sedikit makanan, ia berkata pada ikan itu, “Kenapa kamu cepat tumbuh, Kan? Apakah kamu ikan ajaib?” Semakin Membesar Keajaiban itu kembali terjadi di keesokan harinya. Ikan yang semula sebesar baskom, kini sebesar lesung. Sontak, hal itu membuat La Moelu dan ayahnya terkejut. Mereka lalu memindahkannya ke tempat yang lebih besar, yakni di dalam guci. Pada hari berikutnya, ikan berwarna oranye itu kembali menghebohkan si anak dan ayahnya. Tubuhnya kembali membesar seukuran dengan wadahnya. Kali ini, La Moelu bingung memindahkannya di mana. Setelah mencari tempat, akhirnya ia menemukan drum besar. Ikan itu lalu ia pindahkan ke dalam drum tersebut. Mereka beranggapan bila hewan tersebut tak akan membesar seukuran drum. Namun, perkiraaan mereka salah. Saat esok tiba, betapa terkejutnya mereka melihat ikan itu sudah memenuhi drum tersebut. Karena khawatir ikan itu terus membesar, pada akhirnya La Moelu membawanya ke laut. Sebelum melepasnya ke laut, ia berpesan pada sang ikan. “Hai, ikan ajaib! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika kelak aku memanggilmu, datanglah ke tepi laut. Aku akan memberimu makan. Aku tak dapat lagi memeliharamu di rumah, karena tubuhmu terus-terusan membesar,” ujar anak baik itu. Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya. Kemudian, La Moelu melepaskannya ke lautan. Ikan itu tampak senang karena dapat bergerak dengan bebas di samudera luas. Sesuai janji, anak kecil itu keesokan harinya datang ke tepi laut. Ia lalu berteriak memanggil nama ikannya, “Jinnande Teremombonga!” Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga datang menghampirinya. Ia lalu memberikan ikan itu makanan sembari mengajaknya bicara. “Tubuhmu makin besar saja. Kau tampak makin indah,” ujarnya. Jinnande Teremombonga memberi respon dengan cara mengibas-ngibaskan ekor. Jinnande Teremombonga Terancam Bahaya Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa La Moelu datang ke tepi laut untuk memberi makan Jinnande Teremombonga. Ternyata, ada tiga pemuda yang mengikuti La Moelu. Ketiga pemuda itu rupanya tetangga La Moelu yang penasaran ke mana perginya anak laki-laki ini tiap pagi. Betapa terkejutnya mereka mendapati anak itu sedang memberi makan pada ikan besar. Muncullah niat jahat dalam benak mereka. “Kawan-kawan, bagaimana kalau kita menangkap ikan besar itu? Pasti bakal laku mahal jika kita menjualnya di pasar,” ujar salah satu pemuda paling tua. “Tunggu dulu, jangan gegabah! Kita tunggu dulu anak kecil itu pulang. Barulah kita menangkap ikan raksasa,” ujar pemuda lain. Setelah La Moelu pergi, ketiga pemuda itu mendekati tepi laut. Akan tetapi, mereka tak tahu bagaimana caranya mendapatkan ikan besar itu. “Tampaknya, ikan itu tak akan mendekati kita. Tapi, bagaimana cara membuatnya ke tepi laut?” ujar salah satu pemuda. “Hmm, tampaknya kita harus kembali lagi besok pagi dan mengamati apa yang anak kecil itu lakukan untuk memanggil ikannya,” ucap pemuda paling tua. Akhirnya, mereka pun pulang dengan tangan kosong. Keesokan harinya, mereka kembali mendekati La Moelu. Kali ini, mereka memperhatikan dengan seksama gerak-gerik La Moelu. Akhirnya, mereka tahu cara memanggil hewan raksasa itu. Usai memberi makan, La Moelu bergegas pergi karena ia harus segera ke pasar dan ke sungai tuk memancing ikan. Kemudian, ketiga pemuda itu mendekat ke tepi laut. Mereka lalu berteriak memanggil Jinnande Teremombonga. “Jinnande Teremombonga! Datanglah kemari!” ucap pemuda lainnya. Tak lama kemudian, Jinnande Teremombonga datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang yang memanggilnya bukanlah Moelu, Jinnande Teremombonga langsung kembali pergi menjauh. “Hah? Kenapa ikan itu pergi lagi?” tanyanya. “Mungkin, dia takut padamu! Coba aku saja yang memanggilnya,” ucap salah satu pemuda. “Jinnande Teremombonga! Kemarilah!” teriaknya. Ikan itu datang mendekat, tapi mendapati yang datang bukanlah tuannya, ia kembali menghindar. Saat pemuda terakhir mencoba memanggilnya, hal itu terjadi lagi. Sampai akhirnya, mereka pun mengatur strategi. Upaya Menangkap Jinnande Teremombonga Setelah berdiskusi sekian lama, akhirnya ketiga pemuda itu menemukan rencana. Salah satu dari mereka akan memanggil Jinnande Teremombonga, saat tiba di tepi laut, kedua pemuda lainnya akan menangkapnya dengan tombak. Dan ternyata, rencana mereka berhasil. Ketika Jinnande Teremombonga tiba di tepi laut, kedua pemuda itu langsung menghunus perutnya dengan tombak. Meski sempat mencoba melawan, Jinnande Teremombonga akhirnya kalah dan mati. Dengan teganya, para pemuda itu lalu memotong-motong Jinnande Teremombonga dan membagi rata. Lalu, mereka membawa sebagian ikan ke pasar dan menjualnya. Sisanya mereka bawa pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan temannya. Tentunya, ia belum tahu nasib buruk yang menimpa ikan kesayangannya itu. Ia memanggilnya berulang kali, tapi ikan itu tak kunjung datang. “Jinnande Teremombonga, kenapa kau tak kunjung mendatangiku? Apa kau tak lapar? Ada apa denganmu?” ucapnya cemas. Sudah cukup lama ia menanti temannya itu. Ia berkali-kali memanggilnya, tapi tak kunjung ada yang mendekat. Bahkan, ia memanggilnya lebih keras, tapi Jinnande Teremombonga tak kunjung datang. La Moelu pun mulai cemas. Ia khawatir bila ada suatu hal buruk yang menimpa kawannya. “Ke mana perginya dirimu? Jangan-jangan ada suatu hal buruk yang menimpamu?” gumamnya dalam hati. Hingga sore tiba, Jinnande Teremombonga tak kunjung menampakkan diri. Karena lelah, ia memutuskan tuk pulang. Dengan raut wajah sedih dan kecewa, La Moelu menceritakan kesedihannya pada sang ayah. Tetangga yang Jahat Saat malam datang, tiba-tiba saja La Moelu menghirup aroma sedap ikan goreng. Sontak, hal itu membuatnya teringat akan Jinnande Teremombonga. Ia bergegas dari tempat tidurnya dan mendatangi sumber aroma. Aroma sedap itu berasal dari rumah tetangganya. Ia pun mengunjungi rumah itu untuk memastikan ikan jenis apakah yang mereka goreng. Saat mendatangi rumah tetangganya, ia disambut dengan pemuda paling tua yang tadi pagi menangkap Jinnande Teremombonga. “Oh hai, pria kecil. Apa yang membuatmu datang kemari?” tanyanya. “Aku mencium aroma sedap ikan goreng dari rumahku. Apakah kamu yang sedang menggorengnya?” tanya La Moelu. “Wah, ternyata aromanya menyebar hingga ke rumahmu, ya. Iya, benar sekali. Saudaraku sedang menggoreng ikan. Kau mau?” jelas pemuda itu. “Tidak, terima kasih. Aku hanya penasaran, ikan jenis apa yang kalian goreng?” tanyanya penasaran. “Hanya ikan biasa. Kenapa?” jawab pemuda itu cemas. Ia nampaknya takut ketahuan bahwa ikan yang digorengnya sebenarnya adalah Jinnande Teremombonga. “Apakah ikannya besar? Apakah kau menangkapnya di lautan?” tanya La Moelu mendesak pemuda itu. Karena merasa terdesak, akhirnya pemuda itu membuat pengakuan. “Iya, kamu benar. Ikannya berukuran besar dan aku menangkapnya di lautan. Memangnya kenapa hai anak yatim?” ucapnya dengan nada mengejek. Betapa sakit hati La Moelu mendengar ucapan tersebut. Lalu, pemuda itu memberinya tulang Jinnande Teremombonga. “Ini aku berikan tulang ikannya. Karena dagingnya sebagian sudah kujual dan sisanya akan kami makan. Anggap saja ini kenang-kenangan buatmu,” ucapnya. Tentu saja La Moelu menerima tulang ikan itu. Sepanjang jalan, ia menangis tersedu. Ia tak menyangka teman yang ia rawat selama ini dimakan oleh tetangganya sendiri. Ayahnya lalu meminta La Moelu untuk mengubur Jinnande Teremombonga di belakang rumah mereka. Ia pun menuruti kata sang ayah. Karena masih bersedih, ia pun menangis di atas makam Jinnande Teremombonga. Sebuah Keajaiban Terjadi Keesokan harinya, La Moelu hendak memberikan sedikit air pada makam Jinnande Teremombonga. Ia tak ingin temannya kekeringan. Namun, betapa terkejut dirinya mendapati makam temannya ditumbuhi oleh pohon ajaib. Pohon itu berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Karena terkejut, La Moelu pun berteriak, “Ayah, ayah! Kemarilah, Yah! Lihatlah pohon ini.” Sang ayah langsung mengambil tongkatnya dan berjalan ke belakang rumah. Alangkah terkejut dirinya memandang pohon itu. “Ini adalah berkah yang Tuhan berikan karena kamu telah merawat Jinnande Teremombonga dengan baik. Rawatlah pohon ini sebagaimana kamu merawat temanmu Jinnande Teremombonga,” ucap sang ayah dengan bijak. Sesuai perintah ayahnya, La Moelu merawat pohon itu dengan baik. Setiap pagi, ia menyirami dan memotong rumput-rumput di sekitar pohon itu. Sesekali, ia mengajaknya ngobrol. La Moelu menganggapnya seperti teman sendiri. Semakin hari, pohon itu semakin besar. Daun dan buahnya mulai berguguran. La Moelu mengambil daun-daun dan bunga itu lalu menjualnnya ke pasar. Tentu saja hal itu membuat ia dan ayahnya menjadi kaya raya. Meski begitu, mereka tak tamak. Ketika ada tetangganya yang mengalami kesulitan, mereka dengan senang hati membantu. Mereka juga tak gelap mata. Meski bisa menghasilkan banyak uang, mereka tak akan memetik bunga, daun, atau buah sebelum berguguran sendiri dari pohonnya. Suatu hari, ketiga pemuda yang dulu menangkap dan membunuh Jinnande Teremombonga datang ke rumah La Moelu. Mereka meminta maaf pada anak kecil itu. Bagaimana tidak, mereka ternyata sakit-sakitan setelah memakan daging Jinnande Teremombonga. Tubuh mereka gatal dan bersisik. Uang hasil penjualan ikan itu pun tak cukup buat berobat. Dengan ketulusan hati, La Moelu memaafkan mereka. Ia juga berpesan pada mereka agar tak mengambil lagi milik orang lain. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Ikan Pesut Mahakam dan Ulasan Menariknya, Sebuah Pelajaran Bagi Orang Tua Unsur Intrinsik Setelah membaca cerita rakyat La Moelu, apakah kamu penasaran dengan unsur intrinsiknya? Buat yang penasaran dengan ulasan seputar tema hingga pesan moralnya, langsung saja baca informasi di bawah ini; 1. Tema Inti cerita atau tema dari cerita rakyat La Moelu adalah tentang kasih sayang antar sesama makhluk hidup. Dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, seorang anak laki-laki merawat ikan hasil tangkapannya. Meski telah dibebaskan di lautan, ia tetap memberi makan ikannya itu. Tak hanya itu saja, legenda ini juga mengisahkan tentang seorang anak yang pekerja keras. Meski hidup tanpa seorang ibu dan harus merawat ayahnya yang sudah tua, ia tak pernah mengeluh. 2. Tokoh dan Perwatakan Tokoh utama dalam cerita rakyat ini adalah La Moelu dan ayahnya. La Moelu digambarkan sebagai anak kecil yang tangguh dan pekerja keras. Meski kehidupannya mengalami kesulitan, ia tak pernah mengeluh. Ayahnya juga memiliki sifat yang tak kalah baik. Ia merupakan sosok ayah yang bijak dan pengertian. Hanya saja, ia sudah berusia senja sehingga tak kuasa untuk membantu anaknya bekerja. Dalam kisah ini juga terdapat tokoh antagonis, yakni tiga pemuda bersaudara yang merupakan tetangga La Moelu. Mereka adalah pembuat konflik dalam kisah ini yang digambarkan bersikap dingin, jahat, dan tidak punya hati nurani. 3. Latar Legenda yang berasal dari Sulawesi Tenggara ini menggunakan beberapa latar tempat. Beberapa di antaranya adalah rumah La Moelu, sungai tempat ia memancing, rumah tetangganya, dan belakang ruma 4. Alur Cerita Rakyat La Moelu Menceritakan plot dari awal hingga akhir secara berurutan, cerita rakyat La Moelu ini memiliki alur maju. Cerita bermula dari seorang anak yatim piatu yang tak sengaja menangkap ikan kecil. Ia memutuskan untuk memelihara ikan kecil itu. Namun, semakin hari, tubuh hewan tersebut semakin membesar. Akhirnya, La Moelu melepasnya ke lautan luas. Sebelum melepasnya, ia memberi nama ikannya Jinnande Teremombonga. Tiap pagi, ia memanggil Jinnande Teremombonga dan memberinya makan. Sayangnya, Jinnande Teremombonga ditangkap dan dibunuh oleh tetangga La Moelu. Mereka memakan dan menjualnya. Tentu saja La Moelu bersedih mendapati ikannya telah mati. Ia lalu membawa tulang temannya itu ke rumah dan menguburnya. Keeseokan harinya, keajaiban pun terjadi. Tulang ikan tersebut berubah menjadi pohon ajaib yang mengubah kehidupan La Moelu dan ayahnya. 5. Pesan Moral Setiap cerita rakyat Nusantara memiliki amanat atau pesan moral. Tak terkecuali cerita rakyat La Moelu. Kira-kira, apa sajakah pesan moral yang bisa kamu petik dari legenda ini? Tentu saja ada beberapa pesan moral, salah satunya adalah jadilah pekerja keras seperti La Moelu. Meski masih kecil, ia berkewajiban untuk menghidupi dirinya sendiri dan ayahnya. Setiap hari, ia mencari ikan tuk dimakan dan kayu bakar tuk dijualnya. Meski kehidupannya berat, ia tak pernah mengeluh. Dari tokoh utama ini, belajarlah untuk menyayangi seseama ciptaan Tuhan. Ia dengan baik dan hati-hati menjaga serta merawat Jinnande Teremombonga yang merupakan ikan peliharaannya. Cerita ini juga mengajarkan kamu untuk selalu berbakti dan menuruti perkataan orang tua. La Moelu selalu meminta izin dan pendapat dari ayahnya, serta menuruti nasihatnya. Ia tak pernah sekali pun membantah sang ayah. Berikutnya, jadilah orang yang sederhana dan tak tamak. Meski memiliki pohon berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian, La Moelu dan ayahnya tidak sombong. Mereka justru kerap membantu tetangga yang sedang mengalami kesulitan. Pesan terakhir adalah jangan mengambil apa pun yang bukan milikmu, seperti yang dilakukan tiga pemuda dalam legenda ini. Karena mencuri ikan milik La Moelu, mereka pun terkena penyakit yang tak kunjung sembuh. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupakan juga unsru ekstrinsik yang membangun cerita rakyat La Moelu. Unsur ekstrinsik ini biasanya berhubungan dengan nilai moral, sosial, dan budaya. Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Fakta Menarik Tak banyak fakta menarik yang dapat diulik dari cerita rakyat La Moelu ini. Berikut adalah ulasan singkatnya; 1. Ada Versi Cerita Lainnya Legenda atau cerita rakyat memang umumnya memiliki beberapa versi cerita. Begitu pula dengan cerita rakyat La Moelu. Ada satu versi cerita yang mengisahkan bahwa La Moelu tidak menghampiri rumah tetangganya yang menangkap Jinnande Teremombonga. Ia melihat sendiri tetangganya itu sedang menangkap Jinnande Teremombonga di laut. Tubuhnya yang terlalu kecil tak kuasa melawan tiga pemuda yang merupakan tetangganya itu. Bahkan, di depan matanya sendiri, La Moelu menyaksikan ikannya dimakan oleh ketiga pemuda tersebut. Tak ada hentinya anak kecil itu menangisi temannya. Usai memakan Jinnande Teremombonga, ketiga pemuda itu pun pergi meninggalkan tulang belulang. Dengan hati yang terluka, La Moelu mengumpulkan tulang ikan itu dan menguburnya di halaman rumah. Saat air matanya menetes di kuburan ikannya, tiba-tiba saja sebuah pohon tumbuh dari tanah itu. Ajaibnya, pohon itu berbatang emas dan berdaun perak. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Suka dengan Cerita Rakyat La Moelu? Nah, inilah akhir dari artikel yang membahas cerita rakyat La Moelu beserta unsur intrinsiknya. Apakah kamu suka dengan kisahnya? Kalau suka, jangan ragu tuk membagikan artikel ini pada teman-temanmu, ya. Kalau kamu masih butuh kisah lainnya, langsung saja cek kanal Ruang Pena pada Ada cerita legenda Oheo, kisah Putri Gading cempaka, asal usul Danau Toba, dan masih banyak lainnya. Selamat membaca! PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.

cerita rakyat dari sulawesi tenggara